Matahari
tampak akan tenggelam, angin pun bertiup sepoi-sepoi di sekitar
pepohonan. Harum semerbak mulai memenuhi mihrab Maryam. Bau itu menembus
jendela mihrab dan mengepakkan sayapnya di sekeliling gadis perawan
yang khusuk dalam salat tanpa seorang pun mendengar suaranya. Maryam
merasa bahwa udara dipenuhi dengan bau harum yang mengagumkan. Ia
kembali melakukan salatnya dengan khusuk dan mengungkapkan syukur
kepada Allah SWT.
Seekor
burung hinggap di jendela mihrab. Ia mengangkat paruhnya ke atas dan
mengarahkan ke matahari serta mengepakkan kedua sayapnya lalu ia terjun
ke air dan mandi di dalamnya. Kemudian ia terbang ringan di sekitamya.
Maryam ingat bahwa beliau lupa untuk menyirami pohon mawar yang tumbuh
secara tiba-tiba di tengah dua batu yang tumbuh di luar mesjid. Maryam
menyelesaikan salatnya lalu ia keluar dari mihrab dan menuju pohon.
Belum selesai beliau siap-siap untuk keluar sehingga para malaikat
memanggilnya:
“Hai
Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan
melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).”
(QS. Ali ‘Imran: 42)
Maryam
berhenti dan tampak wajahnya yang pucat dan semakin bertambah. Mihrab
itu dipenuhi dengan kalimat-kalimat para malaikat yang memancarkan
cahaya. Maryam merasa bahwa pada hari-hari terakhir terdapat perubahan
pada suasana ruhaninya dan fisiknya. Di tempat itu tidak terdapat cermin
sehingga ia tidak dapat melihat perubahan itu. Tetapi ia merasa bahwa
darah, kekuatan dan masa mudanya mulai meninggalkan tempatnya dan
digantikan dengan kesucian dan kekuatan yang lebih banyak. Beliau
menyadari bahwa ia sedang gugup. Beliau merasakan kelemahan manusiawi
dan adanya kekuatan yang luar biasa. Setiap kali tubuhnya merasakan
kelemahan, maka bertambahlah kekuatan dalam ruhnya. Perasaan yang
demikian ini justru membangkitkan kerendahan hatinya. Maryam mengetahui
bahwa ia akan memikul tanggung jawab besar.
“Dan
(ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, sesungguhnya
Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas
segala wanita di dunia (yong semasa dengan kamu).” (QS. Ali ‘Imran: 42)
Dengan
kalimat-kalimat yang sederhana ini Maryam memahami bahwa Allah SWT
telah memilihnya dan menyucikannya dan menjadikannya penghulu para
wanita dunia. Beliau adalah wanita terbesar di dunia. Para malaikat
kembali berkata kepada Maryam:
“Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orangyang ruku.” (QS. Ali ‘Imran: 43)
Perintah
tersebut ditetapkan setelah adanya berita gembira agar beliau
meningkatkan kekhusukannya, sujudnya, dan rukuknya kepada Allah SWT.
Maryam lupa terhadap pohon mawar dan beliau kembali salat. Maryam
merasakan bahwa sesuatu yang besar akan akan terjadi padanya. Beliau
merasakan hal itu sejak beberapa hari, tetapi perasaan itu semakin
menguat saat ini.
Matahari
meninggalkan tempat tidurnya sementara malam telah bangkit sedangkan
bulan duduk di atas singgasananya di langit dan di sekelilingnya
terdapat awan-awan yang indah dan putih. Kemudian datanglah pertengahan
malam dan Maryam masih sibuk dalam salatnya. Beliau menyelesaikan
salatnya dan teringat pohon mawar itu lalu beliau membawa air di suatu
bejana dan pergi untuk menyiramnya.
Pohon
mawar itu tumbuh di antara dua batu di tempat yang tidak jauh dari
mesjid yang hanya ditempuh beberapa langkah darinya. Tempat itu jauh
dari jangkauan manusia sehingga tak seorang pun mendekatinya. Tempat itu
sudah dijadikan tempat yang khusus bagi Maryam untuk melakukan salat di
dalamnya atau beribadah. Maryam mendekati pohon mawar itu dan
menyiramnya. lalu beliau meletakkan bejana, kemudian ia memikirkan pohon
mawar itu di mana tangkainya semakin panjang pada dua malam yang
dilaluinya.
Tiba-tiba,
Maryam mendengar suara derap kaki yang mengguncang bumi. Beliau tidak
mendengar suara kaki yang berjalan, tetapi beliau mendengar suara kaki
yang menetap di atas batu serta pasir. Maryam merasakan ketakutan. Ia
merasakan bahwa ia tidak sendirian. Ia menoleh ke sebelahnya namun ia
tidak mendapati sesuatu pun. Kemudian kedua matanya mulai berputar-putar
dan memperhatikan suatu cahaya yang berdiri di sana. Maryam gemetar
ketakutan dan menundukkan kepalanya. Maryam berkata dalam dirinya, siapa
gerangan orang yang berdiri di sana. Maryam memandang kepada wajah
orang asing itu, dan menyebabkan ia gelisah. Wajah orang itu sangat
aneh, di mana dahinya bercahaya lebih daripada cahaya bulan. Meskipun
kedua matanya memancarkan kemuliaan dan kebesaran tetapi wajah orang itu
justru menggambarkan kerendahan hati yang mengagumkan.
Pandangan
pertama yang dilihat oleh Maryam kepada orang itu mengisyaratkan, bahwa
orang itu memiliki kemuliaan yang diperoleh orang yang menyembah Allah
SWT selama julaan tahun. Maryam bertanya kepada dirinya, siapa gerangan
orang ini? Kemudian seakan-akan orang asing itu membaca pikiran Maryam
dan berkata: “Salam kepadamu wahai Maryam.” Maryam dibuat terkejut
mendengar adanya suara manusia di depannya. Maryam berkata sebelum
menjawab salamnya:
“Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” (QS. Maryam: 18)
Maryam
berlindung di bawah lindungan Allah SWT dan ia bertanya kepadanya,
“Apakah engkau manusia yang mengenal Allah SWT dan bertakwa kepadanya?”
Kemudian orang itu tersenyum dan berkata:
“Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” (QS. Maryam: 19)
Orang
asing itu belum selesai menyampaikan kalimatnya sehingga tempat itu
dipenuhi cahaya yang menakjubkan yang tidak menyerupai cahaya matahari,
cahaya bulan, cahaya lampu, cahaya lilin bahkan cahaya api. Di sana
terdapat cahaya yang sangat jernih. Kemudian terngianglah di kepala
Maryam kalimat: “Aku adalah seorang utusan Tuhanmu.” Kalau begitu, dia
adalah penghulu para malaikat, Ruhul Amin (Jibril) yang telah berubah
wujud menjadi manusia.
Maryam
mengangkat kepalanya dengan gemetar menahan luapan cinta. Jibril
berdiri di depannya dalam bentuk manusia. Maryam memperhatikan
kejernihan dahinya dan kesucian wajahnya. Benar apa yang diduganya bahwa
Jibril memiliki kemuliaan yang diperoleh orang yang menyembah Allah SWT
selama jutaan tahun. Kemudian Maryam mengingat kembali kalimat-kalimat
yang diucapkan Jibril.
Malaikat itu telah mengatakan bahwa ia adalah
utusan Tuhannya, dan ia telah datang untuk memberi Maryam seorang anak
laki-laki yang suci. Maryam ingat bahwa dirinya adalah seorang perawan
yang belum tersentuh oleh seorang pun. Ia belum menikah dan belum
dilamar oleh seseorang pun, maka bagaimana ia melahirkan anak tanpa
melalui pernikahan. Pikiran-pikiran ini berputar-berputar di kepala
Maryam lalu ia berkata kepada Jibril:
“Maryam
berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak
pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula)
seorangpezina!” (QS. Maryam: 20)
Jibril berkata:
“Demikianlah
Tuhanmu berfirman: ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami
menjadikannya suatu tanda bagi manusia sebagai rahmat dari Kami; dan hal
itu adalah suatu perkara yang sudah diputushan.“‘ (QS. Maryam: 21)
Maryam
menerima kalimat-kalimat Jibril. Tidakkah Jibril berkata kepadanya
bahwa ini adalah perintah Allah SWT dan segala sesuatu yang
diperintahkan-Nya pasti akan terlaksana. Kemudian, mengapa ia harus
(ketika) melahirkan tanpa disentuh oleh seorang manusia pun. Bukankah
Allah SWT mendptakan Nabi Adam tanpa seorang ayah dan seorang ibu?
Sebelum diciptakannya Nabi Adam tidak ada pria dan wanita. Hawa
diciptakan dari Nabi Adam dan ia pun diciptakan dari laki-laki, tanpa
perempuan.
Biasanya
manusia diciptakan melalui pasangan laki-laki dan perempuan; biasanya
ia memiliki ayah dan ibu, tetapi mukjizat terjadi ketika Allah SWT
menginginkannya untuk terjadi. Kemudian Jibril meneruskan
pembicaraannya:
“Sesungguhnya
Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran searangputra yang
didptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya, namanya al-Masih Isa
putra Maryam, seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat dan
termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara
dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk di
antara orang-orang yang saleh.” (QS. Ali ‘Imran: 45-46)
Keheranan
Maryam semakian bertambah. Betapa tidak, sebelum mengandung anak itu di
perutnya ia telahmengetahui namanya. Bahkan ia menhetahui bahwa anaknya
itu akan berbicara dengan manusia saat ia masih kecil. Sebelum Maryam
menggerakan lisannya untuk melontarkan pertanyaan lain, Jibril
mengangkat tangannya dan mengerahkan udara ke arah Maryam. Kemudian
datanglah hembusan udara yang bercahaya yang belum pernah dilihat
sebelumnya oleh Maryam. Lalu cahaya tersebut ke jasad Maryam dan
memenuhinya. Tak sempat Maryam melontarkan pertanyaan yang lain, Jibril
yang suci telah pergi tanpa meninggalkan suara.
Udara
yang dingin telah bergerak dan Maryam pun tampak menggigil. Maryam
segera kembali ke mihrabnya. Ia menutup pintu mihrab dan ia tenggelam
dalam salat yang khusuk dan ia pun menangis. Maryam merasakan
kegembiraan, kebingungan dan kegoncangan serta kedamaian yang dalam.
Kini, Maryam tidak lagi sendirian. Sejak Jibril meninggalkannya, ia
merasakan bahwa ia tidak lagi sendirian. Ia menggerakkan tangannya yang
dipenuhi dengan cahaya, kemudian cahaya ini berubah di dalam perutnya
menjadi anak, seorang anak yang akan menjadi kalimat Allah SWT dan
ruh-Nya yang diletakkan pada Maryam. Ketika anak itu besar, ia akan
menjadi seorang rasul dan nabi yang ajarannya dipenuhi dengan cinta dan
kasih sayang.
Maryam
di malam itu tidur dengan nyenyak dan ia bangun di waktu Subuh. Belum
lama ia membuka kedua matanya sehingga ia dibuat terkejut ketika melihat
mihrab dipenuhi dengan buah-buahan yang sebenarnya tidak lagi musim.
Maryam heran melihat hal itu. Ia mulai mengingat apa yang telah terjadi
padanya kemarin, yaitu bagaimana kejadian saat menyiram pohon mawar,
bagaimana pertemuannya dengan malaikat Jibril, bagaimana Allah SWT
meniupkan kalimat-Nya padanya, bagaimana ia kembali ke mihrab, dan
bagaimana tidurnya yang nyenyak. Maryam berkata kepada dirinya sambil
melihat buah-buahan yang banyak: Apakah aku akan memakan sendirian
buah-buahan ini. Kemudian ada suara dalam dirinya yang berkata: “Engkau
tidak lagi sendirian wahai Maryam. Kini, engkau bersama Isa. Engkau
harus makan dengan baik. Dan Maryam mulai makan.
Lalu
berlalulah hari demi hari. Kandungan Maryam berbeda dengan kandungan
umumnya wanita. Ia tidak merasakan sakit dan tidak merasa berat; ia
tidak merasakan sesuatu telah bertambah padanya dan perutnya tidak
membuncit seperti umumnya wanita. Alhasil, kehamilan yang dialaminya
dipenuhi dengan nikmat yang baik. Datanglah bulan yang kesembilan. Ada
sebagian ulama yang mengatakan bahwa Maryam tidak mengandung Isa selama
sembilan bulan, tetapi ia melahirkannya secara langsung sebagai
mukjizat.
Pada
suatu hari, Maryam keluar ke suatu tempat yang jauh. Ia merasa bahwa
sesuatu akan terjadi hari itu. Tetapi ia tidak mengetahui hakikat
sesuatu itu. Kakinya membimbingnya untuk menuju tempat yang dipenuhi
dengan pohon kurma. Tempat itu tidak biasa dikunjungi oleh seseorang pun
karena saking jauhnya; tempat yang tidak diketahui oleh seseorang pun
kecuali Maryam.
Tak
seorang pun yang mengetahui Maryam bahwa sedang hamil dan ia akan
melahirkan. Mihrab yang menjadi tempat ibadahnya selalu tertutup.
Orang-orang mengetahui bahwa Maryam sedang sibuk beribadah dan tidak ada
seorang pun yang mendekatinya. Maryam duduk beristirahat di bawah pohon
kurma yang besar dan tinggi. Maryam mulai merasakan sakit pada dirinya,
dan rasa sakit tersebut semakin terasa. Akhirnya, Maryam melahirkan:
“Maka
rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal
pohon kurma, ia berkata: ‘Aduhai alangkah baiknya aku mati sebelum ini,
dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS.
Maryam: 23)
Rasa
sakit saat melahirkan anak yang dialami wanita suci ini menimbulkan
penderitaan-penderitaan lain yang segera menantinya.
Bagaimana manusia
akan menyambut anaknya ini? Apa yang mereka katakan tentangnya? Bukankah
mereka mengetahui bahwa ia adalah wanita yang masih perawan? Bagaimana
seorang gadis perawan bisa melahirkan? Apakah manusia akan membenarkan
Maryam yang melahirkan anak itu tanpa ada seseorang pun yang
menyentuhnya? Kemudian pandangan-pandangan keraguan mulai
menyelimutinya. Maryam berpikir bagaimana reaksi manusia kepadanya dan
bagaimana perkataan mereka terhadapnya sehingga hatinya dipenuhi dengan
kesedihan. Belum lama Maryam membayangkan dan meminta agar ia dimatikan
dan dilupakan, tiba-tiba anak yang baru lahir itu memanggilnya:
“Janganlah
kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai
di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya
pohon itu ahan mengugurkan buah kurma yang masak kepadamu makan, minum
dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu rnelihat seorang manusia, maka
katakantah: ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun
pada hari ini.’” (QS. Maryam: 24-26)
Maryam
melihat al-Masih yang tampan wajahnya. Wajahnya tidak kemerah-merahan
dan rambutnya tidak keriting seperti anak-anak yang lahir di saat itu,
tetapi ia berkulit lembut dan putih. Anak itu diselimuti dengan kesucian
dan kasih sayang; anak itu berbicara kepada Maryam agar ia
menghilangkan kesedihannya dan meminta padanya agar menggoyangkan
batang-batang pohon kurma supaya jatuh darinya sebagian buahnya yang
lezat dan Maryam dapat memakan dan meminum darinya sehingga hatinya pun
penuh dengan kedamaian serta kegembiraan dan tidak berpikir tentang
sesuatu pun. Jika Maryam melihat atau menemui manusia, maka hendaklah ia
berkata kepada mereka bahwa ia bernazar kepada Allah SWT untuk berpuasa
dan tidak berbicara kepada seseorang pun.
Maryam
melihat al-Masih dengan penuh kecintaan. Anak itu baru dilahirkan
beberapa saat tetapi ia langsung memikul tanggung jawab ibunya di atas
pundaknya. Selanjutnya, ia akan memikul penderitaan orang-orang fakir.
Maryam melihat bahwa wajah anak itu menyiratkan tanda yang sangat aneh.
Yaitu tanda yang mengisyaratkan bahwa ia datang ke dunia bukan untuk
mengambil darinya sesuatu, tetapi untuk memberinya segala sesuatu.
Maryam mengulurkan tangannya ke pohon kurma yang besar. Belum lama ia
menyentuh batangnya hingga jatuhlah darinya buah kurma yang masih muda
dan lezat. Maryam makan dan minum dan kemudian ia memangku anaknya
dengan penuh kasih sayang.
Saat
itu, Maryam merasakan kegoncangan yang hebat. Silih-berganti ketenangan
dan kegelisahan menghampirinya. Segala pikirannya tertuju pada satu
hal, yaitu Isa. Ia bertanya-tanya dalam dirinya: Bagaimana orang-orang
Yahudi akan menyambutnya, apa yang akan mereka katakan tentangnya, apa
yang akan mereka katakan terhadap Maryam, apakah para pendeta dan para
pembesar Yahudi percaya bahwa Maryam melahirkan seorang anak tanpa
disentuh oleh seseorang pun? Bukankah mereka terbiasa hidup dengan
suasana pencurian dan penipuan? Apakah seseorang di antara mereka akan
percaya—padahal ia jauh dari langit—bahwa langit telah memberinya
seseorang anak.
Akhirnya,
masa pengasingan Maryam telah berakhir dan Maryam harus kembali ke
kaumnya. Maryam kembali dan waktu menunjukkan Ashar. Pasar besar yang
terletak di jalan yang dilalui Maryam menuju mesjid dipenuhi dengan
manusia. Mereka sibuk dengan jual-beli. Mereka duduk berbincang-bincang
sambil minum anggur. Belum lama Maryam melewati pasar itu sehingga
manusia melihatnya membawa seorang anak kecil yang didekapnya. Salah
seorang bertanya: “Bukankah ini Maryam yang masih perawan? Lalu, anak
siapa yang dibawanya itu?” Seorang yang mabuk berkata: “Itu adalah
anaknya.” Mari kita dengar cerita apa yang akan disampaikannya.
Akhirnya, orang-orang Yahudi mulai “mengepung” dengan berbagai macam
pertanyaan: “Anak siapa ini wahai Maryam, mengapa engkau tidak
mengembalikannya, apakah itu memang anakmu, bagaimana engkau datang
dengan membawa seorang anak sedangkan engkau adalah gadis yang masih
perawan?”
“Hai
saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat
dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.”(QS. Maryam: 28)
Maryam
dituduh melakukan pelacuran. Mereka menyerang Maryam tanpa terlebih
dahulu mendengarkan sanggahannya atau mengadakan penelitian atau
membuktikan bahwa perkataan mereka memang benar. Maryam dicerca
sana-sini dan ia diingatkan, bahwa bukankah ia seseorang yang tumbuh
dari rumah yang baik dan bukanlah ibunya seorang pelacur? Lalu mengapa
semua ini terjadi padanya? Menghadapi semua tuduhan itu, Maryam tampak
tenang dan tetap menunjukkan kebaikannya. Wajahnya dipenuhi dengan
cahaya keyakinan. Ketika pertanyaan semakin menjadi-jadi dan keadaan
semakin sulit, maka Maryam menyerahkan segalanya kepada Allah SWT. Ia
menunjuk ke arah anaknya dengan tangannya. Maryam menunjuk Isa.
Orang-orang
yang ada di situ tampak kebingungan. Mereka memahami bahwa Maryam
berpuasa dari berbicara dan meminta kepada mereka agar bertanya kepada
anak itu. Para pembesar Yahudi bertanya: “Bagaimana mereka akan
melontarkan pertanyaan kepada seorang anak kecil yang baru lahir
beberapa hari? Apakah anak itu akan berbicara di buaiannya” Mereka
berkata kepada Maryam:
“Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?” (QS. Maryam: 29)
Berkata Isa:
“Sesungguhnya
aku ini hamba Allah, Dia memberiku al-Kitab (injil) dan Dia menjadikan
aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana
saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia
tidak menjadikanku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan
semoga dilimpahkan kepadahu, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku
meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. ”(QS. Maryam:
30-33)
Belum
sampai Isa menuntaskan pembicaraannya sehingga wajah-wajah para pendeta
dari kalangan Yahudi dan para uskup tampak pucat. Mereka menyaksikan
mukjizat terjadi di depan mereka secara langsung. Anak kecil itu
berbicara di buaiannya; anak kecil yang datang tanpa seorang ayah; anak
kecil yang mengatakan bahwa Allah SWT telah memberinya al-Kitab dan
menjadikannya seorang Nabi. Ini berarti bahwa kekuasaan mereka sebentar
lagi akan hancur. Setiap orang dari mereka akan menjadi tidak berarti
ketika anak kecil itu dewasa. Tak seorang pun di antara mereka yang
dapat “menjual pengampunan” kepada manusia atau menghakimi mereka
melalui pemyataan bahwa ia adalah wakil dari langit yang turun di bumi.
Atau pernyataan, bahwa hanya dia yang mengetahui syariat.
Para
pendeta Yahudi merasa akan terjadi suatu tragedi kepribadian yang akan
datang kepada mereka dengan kelahiran anak kecil ini. Kedatangan
al-Masih berarti mengembalikan manusia kepada penyembahan semata-mata
kepada Allah SWT. Ini berarti menghapus agama Yahudi yang sekarang
mereka yakini. Perbedaan antara ajaran-ajaran Musa dan tindakan-tindakan
orang-orang Yahudi menyerupai perbedaan antara bintang-bintang di
langit dan lumpur-lumpur di jalan. Para pendeta Yahudi menyembunyikan
kisah kelahiran Isa dan bagaimana ia berbicara di masa buaian. Mereka
justru menuduh Maryam yang masih perawan dengan kebohongan yang besar.
Mereka menuduh Maryam melakukan pelacuran, padahal mereka menyaksikan
sendiri mukjizat pembicaraan anaknya di masa buaian.
Mula-mula
cerita tentang itu mereka sembunyikan untuk beberapa saat. Meskipun
demikian, berita tentang kelahiran Isa sampai ke Hakim Romawi, yaitu
Heradus. Ia memimpin orang-orang Palestina dan orang-orang Yahudi dengan
kekuatan pedang. Ia menakut-nakuti mereka dengan menumpahkan darah
serta banyaknya mata-mata yang dimilikinya. Pada suatu hari, ia duduk di
istananya dan meminum anggur. Lalu ia mendengar berita yang samar
tentang kelahiran seseorang anak tanpa ayah; seorang anak yang dikatakan
ia mampu berbicara saat masih di buaian, lalu ia menyampaikan
pembicaraan yang menjurus pada ancaman terhadap kekuasaan Romawi.
Kemudian bergetarlah kursi yang ada di bawah tubuh Heradus. Ia
memerintahkan untuk diadakan suatu pertemuan mendadak yang dihadiri oleh
para pengawalnya dan para mata-matanya. Pertemuan itu pun terlaksana.
Heradus duduk dengan wajahnya yang hitam mengkilat, lalu ia memutarkan
pandangannya ke arah mata-matanya dan bertanya: “Bagaimana berita anak
kecil yang berbicara di buaiannya?”
Salah
seorang kepala mata-mata berkata: “Tampak bahwa masalahnya tidak benar.
Kami telah mendengar isu-isu sekitar anak kecil yang mereka katakan
bahwa ia membuat mukjizat dengan berbicara saat ia masih belia. Lalu
saya mengutus anak buahku untuk mencari kebenaran berita itu, tetapi
mereka tidak menemukannya. Jelas bagi kami, bahwa berita itu
dilebih-lebihkan.” Kemudian salah satu anggota mata-mata raja berkata:
“Aku telah mendapatkan bukti yang terpercaya bahwa tiga orang dari
orang-orang Majusi datang di balik suatu bintang yang mereka lihat
menyala di suatu langit dan bintang tersebut mengisyaratkan kelahiran
anak kecil yang membawa mukjizat, yaitu anak kecil yang akan
menyelamatkan kaumnya.” Hakim berkata: “Bagaimana ia dapat menyelamatkan
kaumnya dan kaum siapa yang diselamatkannya?” Salah seorang mata-mata
berkata: “Anak buahku tidak mengetahuinya karena orang-orang pandai dari
Majusi itu pergi dan tak seorang pun menemukan mereka.”
Hakim
berkata: “Bagaimana mereka dapat pergi dan bersembunyi lalu bagaimana
cerita anak kecil ini? Apakah di sana ada persekongkolan untuk menentang
Romawi?” Hakim melompat dari tempat duduknya ketika ia menyebut Romawi,
dan ia mulai berbicara dengan keadaan emosi: “Aku menginginkan kepala
tiga orang yang cerdik itu dan aku juga menginginkan kepala anak kecil
itu. Dan aku menginginkan informasi yang lengkap. Sungguh masalah ini
semakin samar hai orang-orang yang bodoh.” Lalu kepala mata-mata
berkata: “Barangkali ini hanya mimpi yang dibayangkan orang-orang Yahudi
bahwa mereka melihatnya.” Hakim berkata: “Sungguh kepala-kepala kalian
semua akan terbang lebih cepat dari merpati jika kalian tidak
mendatangkan cerita secara lengkap tentang anak ini. Kebingungan dan
kekacauan apa yang aku rasakan! Pergilah kalian dari sini.”
Anak
buah Heradus dan para mata-mata pergi, sedangkan ia masih duduk
memikirkan masalah tersebut. Tampaknya masalah itu sangat
menggelisahkannya. Ia tidak peduli dengan kedatangan agama baru kepada
manusia tetapi yang dipikirkannya adalah kekuasaan Romawi yang ia
menjadi simbolnya. Kemudian Heradus menetapkan untuk memanggil pemuka
orang Yahudi dan bertanya kepadanya tentang masalah ini. Para
pengawalnya yang khusus memanggil orang Yahudi itu. Tidak beberapa lama
orang Yahudi itu ada di depan hakim. Heradus berkata: “Aku ingin
berbicara kepadamu tentang suatu masalah yang sangat menggelisahkanku.”
Pendeta Yahudi itu berkata: “Aku ingin mengabdi kepadamu.”
Heradus
berkata: “Aku mendengar berita-berita yang saling berlawanan tentang
anak kecil yang bisa berbicara di masa buaiannya dan ia mengatakan bahwa
ia akan menyelamatkan kaumnya. Maka bagaimana berita yang sebenarnya
tentang itu?” Pendeta itu berkata—dan ia merasa bahwa pertanyaan itu
sepertinya berupa jebakan yang tidak diketahuinya secara pasti: “Apakah
tuan yang mulia peduli dengan agama Yahudi?” Heradus berkata dalam
keadaan emosi: “Aku tidak peduli sedikit pun selain kekuasaan Romawi.
Jawablah pertanyaanku wahai pendeta.” Pendeta Yahudi itu telah melihat
Isa berbicara di buaiannya. Ia memahami bahwa seandainya ia mengatakan
itu, maka ia akan mendapatkan penderitaan pada dirinya, maka ia lebih
memilih sedikit berbohong. Ia berkata kepada Heradus bahwa ia mendengar
cerita itu tetapi ia meragukannya.
Heradus
berkata: “Apakah benar agama kalian berbicara tentang kedatangan
seorang penyelamat bagi rakyat kalian?” Pendeta berkata: “Ini benar
wahai tuan yang mulai.” Heradus berkata: “Apakah kalian mengetahui ini
adalah persekongkolan menentang keamanan kerajaan Romawi? Apakah kalian
menyadari ini adalah bentuk pengkhianatan?” Pendeta berkata: “Aku harap
tuan membiarkan aku meluruskan suatu pemikiran yang sederhana. Berita
tentang hal itu adalah berita yang kuno. Berita ini diyakini ketika
rakyat menjadi tawanan di Bebel sejak ratusan tahun.”
Heradus
berkata: “Apakah memang di sana ada yang membenarkan berita ini?
Sekarang, apakah kamu secara pribadi membenarkannya? Apakah engkau
melihat anak kecil itu yang mereka katakan bahwa ia dilahirkan tanpa
seorang ayah?” Pendeta itu berkata: “Apakah ada seorang yang percaya
wahai tuan yang mulia jika dikatakan ada seorang anak yang lahir tanpa
seorang ayah. Ini adalah mimpi rakyat biasa.”
Heradus
berkata: “Tidak ada sesuatu yang mengusir tidur dari mata seorang
penguasa selain mimpi-mimpi rakyat. Pergilah wahai pendeta dan jika
engkau mendengar berita-berita, maka sampaikanlah kepadaku sebelum
engkau sampaikan kepada istrimu.” Belum lama pendeta itu pergi sehingga
Heradus berpikir, bagaimana seandainya pendeta itu berbohong. Ia
menangkap benang kebohongan pada kedua matanya. Ia mengetahui kebohongan
ini karena ia sendiri sangat pandai berbohong. Kemudian bagaimana
cerita tiga orang cerdik yang mereka mengikuti bintang? Apakah di sana
terdapat persekongkolan menentang Romawi yang tidak diketahuinya?
Heradus
berteriak di tengah-tengah pengawalnya dan memerintahkan mereka untuk
menangkap semua orang yang mendengar cerita ini atau ia akan melihat
akibatnya.
Mula-mula dia memerintahkan untuk mencari gadis perawan yang
melahirkan anak itu dan membunuh setiap anak yang lahir di saat itu.
Sementara itu, Maryam keluar dari Palestina menuju ke Mesir. Sebelumnya,
pada suatu malam, datanglah kepadanya seseorang yang belum pernah
dilihatnya dan orang itu menyampaikan salam kepadanya serta
menyerukannya dan sambil berkata: “Bawalah anakmu wahai Maryam dan
keluarlah menuju Mesir.” Dengan nada ketakutan Maryam bertanya,
“Mengapa? Bagaimana aku keluar menuju ke Mesir; dan bagaimana aku bisa
mengenali jalan?” Orang asing itu menjawab, “Keluarlah engkau niscaya
Allah SWT akan melindungimu. Sesungguhnya Hakim Romawi mencari anakmu
dan ingin membunuhmu.”
Maryam
bertanya: “Kapan aku keluar?” Orang asing itu menjawab: “Sekarang juga.
Janganlah engkau khawatir sedikit pun karena engkau keluar bersama
seorang Nabi yang mulia. Semua nabi diusir oleh kaumnya dari negeri
mereka dan rumah mereka. Demikianlah hukum kehidupan. Kejahatan selalu
berusaha untuk menyingkirkan kebaikan tetapi pada akhirnya, kebaikan
akan kembali menduduki singgasananya. Keluarlah wahai Maryam.” Akhirnya,
Maryam pun pergi menuju ke Mesir. Maryam melalui gurun Saina’ bersama
suatu kafilah yang menuju Mesir. Maryam berjalan membawa Isa di jalan
yang sama yang pernah dilalui Nabi Musa di mana ditampakkan kepada Nabi
Musa api yang suci dan beliau dipanggil dari sisi thur al-Aiman. Setelah
melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Maryam sampai di Mesir.
Mesir yang dipenuhi dengan kebaikan, kemuliaan, kebudavaan klasik serta
cuacanya yang stabil mempakan tempat yang terbaik untuk pertumbuhan Isa
as.
Al-Masih
tumbuh dan berkembang serta menjalani masa kecilnya di Mesir. Kemudian
datanglah kepada Maryam orang asing yang telah memerintahkannya untuk
meninggalkan Palestina. Kali ini, ia memerintahkannya untuk kembali ke
Palestina. Orang asing itu berkata kepadanya: “Raja yang lalim telah
mati, maka kembalilah bersama anakmu wahai Maryam. Telah datang
kesempatan emas bagi Isa untuk menduduki singgasananya. Isa akan menjadi
penyayang orang-orang fakir dan orang-orang yang benar. Kembalilah
wahai Maryam.” Maryam pun kembali. Dalam perjalanan Maryam melalui
banyak mata air di sungai Jordania.
Isa
pun tumbuh menjadi dewasa dan mencapai masa mudanya. Isa keluar dari
rumahnya dan menuju tempat penyembahan kaum Yahudi. Saat itu bertepatan
dengan hari Sabtu. Di sana tidak ada satu rumah pun dari rumah kaum
Yahudi yang dapat menyalakan api atau memadamkannya pada hari Sabtu,
atau mengambil buah di hari itu. Dilarang bagi seorang wanita untuk
membikin adonan roti atau seseorang anak kecil mencuci anjingnya. Nabi
Musa telah memerintahkan untuk menghormati hari Sabtu dan hanya
mengkhususkanya untuk beribadah kepada Allah SWT.
Terdapat
hikmah di balik penghormatan hari Sabtu sehingga hari Sabtu menjadi
hari yang sangat disucikan di kalangan orang-orang Yahudi. Mereka
melaksanakannya dengan berbagai macam tradisi dan mereka mencurahkan
segala konsentrasi mereka untuk menjaga hari Sabtu dan tidak
meremehkannya. Sebab, mereka meyakini bahwa hari Sabtu adalah hari yang
dijaga dari langit sebelum Allah menciptakan manusia sebagaimana mereka
percaya bahwa Bani Israil telah diberikan pilihan kepada satu jalur
saja, yaitu menjaga hari Sabtu. Mereka bangga karena mereka dapat
menjaganya meskipun hal itu menyebabkan mereka kalah di kancah
peperangan atau mereka tertawan di tangan musuh. Bahkan saking ketatnya
mereka mempertahankan kehormatan hari Sabtu sampai-sampai mereka
menambah-nambahi berbagai macam larangan di hari Sabtu.
Majelis kaum
Yahudi menetapkan ratusan larangan yang tidak boleh dilakukan di hari
Sabtu, seseorang dilarang untuk memakai gigi palsu di hari Sabtu.
Seorang yang sakit dilarang untuk memakai perban atau memakai minyak di
tempat yang sakit pada hari Sabtu atau memanggil dokter. Dilarang pula
di hari Sabtu untuk menulis dua huruf abjad; dilarang juga untuk
mempertahankan diri pada hari Sabtu; dilarang untuk panen dan belajar di
hari Sabtu. Kemudian, bepergian di hari Sabtu diharuskan untuk tidak
lebih dari dua ribu yard. Dilarang juga dihari Sabtu untuk membawa
sesuatu ke luar rumah.
Jadi,
banyaknya syariat, hukum serta larangan-larangan biasanya diikuti
dengan banyaknya keburukan atau paling tidak membantu terciptanya
keburukan. Setiap timbul suatu larangan, maka timbul bersamanya cara
untuk menghindar darinya. Demikianlah, kehidupan kaum Yahudi dipenuhi
dengan kemunafikan yang luar biasa di mana secara lahiriah mereka
menampakkan penghormatan terhadap hari Sabtu, tetapi secara batiniah
mereka berusaha menodai kehormatan dengan berbagai macam cara.
Meskipun
kelompok Farisiun bertanggung jawab terhadap tugas pelaksanaan syariat
dan mengawasinya dengan banyak mendapatkan jarninan-jaminan, maka kita
akan melihat bahwa mereka siap untuk menciptakan berbagai rekayasa dan
tipu daya yang memungkinkan mereka untuk menghindar dari hukum-hukum
syariat di saat yang tepat. Saat yang tepat adalah saat di mana
syariat-syariat tersebut bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka
atau dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan mata
pencaharian yang haram yang sudah siap masuk pada kantong mereka.
Misalnya, terdapat kaidah syariat yang menetapkan perjalanan pada hari
Sabtu tidak boleh melebihi dua ribu yard. Namun orang-orang Farisiun
mengadakan walimah di mana mereka mengundang orang-orang untuk
menghadiri acara tersebut pada hari Sabtu, padahal tempat diadakannya
acara itu berjarak lebih dari dua ribu yard dari rumah mereka.
Lalu,
bagaimana mereka dapat melaksanakan hal tersebut? Sangat mudah sekali.
Mereka meletakkan pada sore hari Sabtu sebagian makanan yang berjarak
dua ribu yard dari rumah mereka lalu setelah itu mereka mendirikan suatu
tempat tinggal di mana mereka dapat berjalan setelahnya dan menempuh
dua ribu yard yang lain. Dari sini mereka dapat menambah jarak yang
mereka inginkan. Begitu juga agar mereka menghindar dari larangan
membawa sesuatu ke luar rumah pada hari Sabtu, maka mereka membuat tipu
daya yang lain. Yaitu mereka mendirikan gerbang-gerbang pintu dan
jendela di berbagai jalan sehingga seluruh kota seperti rumah besar yang
dimungkinkan bagi mereka untuk membawa segala sesuatu dan bergerak di
dalamnya.
Contoh
lain yang menunjukan bagaimana orang-orang Yahudi mempermainkan syariat
sedangkan mereka mengklaim menjaganya adalah, bahwa syariat Musa
menetapkan agar seorang anak menginfaki kedua orang tuanya saat mereka
menginjak usia tua dan membutuhkannya. Tetapi kaum Farisiun memberikan
kesempatan kepada anak-anak untuk lari dan menghindar dari tanggung
jawab ini dengan suatu tipu daya yang sederhana. Ketika seorang anak
dituntut oleh kedua orang tuanya untuk memberi nafkah, maka ia pergi ke
para pendeta dan bersepakat kepada mereka untuk mewakafkan semua
hartanya dan kekayaannya kepada haikal, yaitu tempat sembahan kaum
Yahudi. Saat itu kedua orang tuanya tidak mampu mengambil sesuatu pun
darinya. Ketika mereka berdua telah putus asa dan tidak lagi menuntut
padanya untuk memberi nafkah, maka semua harta kekayaannya akan
dikembalikan kepadanya oleh para pendeta, dengan catatan hendaklah ia
memberikan bagian tertentu dari hartanya kepada para pendeta itu.
Demikianlah yang terdapat dalam Injil Mata.
Di
tengah-tengah suasana kebodohan pemikiran yang luar biasa ini, juga
terdapat sikap keras kepala dan kejumudan berpikir yang mengelilingi
kaum Yahudi. Terdapat tujuh tingkat kesucian dan dua puluh enam salat
yang harus mereka lakukan saat mereka membasuh tangan sebelum memakan
makanan, namun mereka menganggap bahwa meniadakan pembacaan salat-salat
sebagai bentuk pembunuhan terhadap jiwa dengan cara bunuh diri dan
tercegah dari kehidupan abadi. Demikianlah kekerasan sikap masyarakat
Yahudi yang menunjukkan bahwa moral mereka telah rusak dan dipenuhi
dengan kemunafikan yang tiada taranya.
Sementara
itu, Isa berjalan menuju tempat beribadah. Orang-orang berjalan di
sekelilingnya. Mereka tampak membanggakan pakaian-pakaian yang berwarna
dan berharga sedangkan Isa berjalan dengan memakai baju putih dan
menampakkan kezuhudannya. Rambut Isa tampak lembut yang mencapai kedua
bahunya dan tampak ia basah terkena air awan yang menurunkan gerimis.
Kemudian kedua kakinya berjalan di atas tanah sehingga tanah itu
dipenuhi dengan bau harum yang tidak diketahui sumbernya. Baju yang
dipakai oleh Isa terbuat dari bulu domba yang sangat sederhana dan
kasar. Meskipun hari itu hari Sabtu, Isa memetik buah di suatu kebun dan
mengambil dua buah yang beliau berikan kepada anak kecil yang fakir dan
lapar. Tindakan semacam ini menurut kepercayaan Yahudi dianggap sebagai
tindakan yang menentang agama Yahudi.
Isa
mengetahui bahwa menjalankan agama yang hakiki bukan terletak pada
ketaatan eksternal sementara hati jauh dari sikap rendah diri. Oleh
karena itu, Isa mencabut buah dan memberikan makan kepada manusia pada
hari Sabtu. Beliau menyalakan api untuk wanita-wanita tua sehingga
mereka tidak mati kedinginan.
Isa
sering mengunjungi tempat sesembahan orang Yahudi. Isa berdiri di
dalamnya dan mengamati para pendeta dan manusia yang hilir mudik di
sekitarnya. Sesampainya Isa di tempat sembahan, ia berdiri di dalamnya.
Isa mengamat-amati apa yang ada di dalamnya. Dinding-dinding tempat
beribadah itu terbuat dari kayu gahru yang memiliki bau yang harum. Di
samping itu, terdapat kelambu-kelambu yang terbuat dari kain-kain yang
mengagumkan yang dicampur dengan emas. Juga terdapat lampu-lampu yang
terulur dari atap dan juga ada lilin-lilin yang memenuhi ruangan dengan
cahaya. Meskipun demikian, kegelapan menyelimuti hati orang-orang yang
ada di situ.
Nabi
Isa berdiri cukup lama di tempat penyembahan itu. Setiap kali ia
memutarkan wajahnya, ia mendapati para pendeta di sana. Terdapat dua
puluh ribu pendeta. Nama-nama mereka tercatat dalam haikal. Mereka
adalah kaum Waliyun yang memakai saku-saku yang besar yang di dalamnya
ada kitab-kitab syariat. Sedangkan kaum Farisiun, mereka memakai pakaian
yang lebar yang sisi-sisinya tertenun dengan emas. Mereka adalah
pembantu haikal yang resmi dengan memakai baju-baju mereka yang putih.
Adapun kaum Shaduqiyun adalah kelompok para pendeta aristokrat yang
bersekutu dengan penguasa di mana mereka memperoleh kekayaan melalui
persekutuan ini. Nabi Isa memperhatikan bahwa jumlah pengunjung
haikalita lebih sedikit daripada jumlah para pendeta dan para tokoh
agama. Tempat penyembahan itu dipenuhi dengan kambing dan merpati yang
dibeli oleh para pengunjung tempat penyembahan itu. Mereka
menyerahkannya sebagai kurban kepada Allah. Yaitu kurban yang disembelih
di dalam tempat persembahan di atas tempat penyembelihan. Alhasil
setiap langkah yang diayunkan oleh para pejalan di tempat penyembahan
itu akan menghasilkan uang.
Di
tempat penyembahan Yahudi itulah tersingkap hakikat kehidupan kaum
Yahudi. Nilai satu-satunya yang disembah oleh manusia di zaman itu
adalah uang. Jadi, kemewahan materi atau kekayaan adalah nilai
satu-satunya yang karenanya manusia akan bergulat satu sama lain. Dalam
hal itu, tidak ada perbedaan antara tokoh-tokoh pembawa ajaran syariat
dengan manusia-manusia biasa. Kaum Shaduqiyun dan kaum Farisiun bekerja
sama di antara mereka di dalam haikal itu seakan-akan mereka di dalam
suatu pasar di mana mereka memanfaatkannya untuk diri mereka dengan
terus mencari kurban-kurban di dalamnya. Seringkali kaum Shaduqiyun dan
Farisiun berseteru dalam persoalan syariat dan hukum.
Demikian juga,
mereka berseteru dalam menentukan kurban yang harus mereka raih di
haikal itu. Kaum Farisiun berpendapat bahwa hewan-hewan kurban itu harus
dibeli dari harta haikal sedangkan kaum Shaduqiyun menganggap bahwa
harta dari haikal adalah hak mereka. Oleh karena itu, mereka menganggap
bahwa hewan kurban itu harus dibeli dengan jumlah tersendiri. Begitu
juga kaum Farisiun mewajibkan untuk membakar hewan yang disembelih di
atas tempat penyembahan, sedangkan kaum Shaduqiyun mereka mengambil
hewan sembelihan ini untuk diri mereka sendiri.
Di
dalam Talmud disebutkan bahwa kaum Shaduqiyun menjual merpati di
toko-toko mereka yang mereka miliki. Mereka sengaja memperbanyak
kesempatan-kesempatan yang diharuskan di dalamnya untuk mengorbankan
burung-burung merpati sehingga harga seekor burung merpati saja mencapai
beberapa Dinar. Melihat hal itu, salah satu tokoh Farisiun yaitu Sam’an
bin Amlail mengeluarkan fatwa yang intinya mengurangi
kesempatan-kesempatan yang diharuskan di dalamnya seseorang menyerahkan
merpati sebagai kurban. Setelah itu, harga burung cuma mencapai
seperempat Dinar. Pergulatan antara kedua kelompok itu mendatangkan
pukulan berat bagi pemilik toko yang menyimpan burung merpati terutama
anak-anak dari kepala pendeta.
Nabi
Isa memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya; Nabi Isa melihat
kaum fakir yang tidak mampu membeli hewan kurban sehingga mereka tidak
mampu berkurban; Nabi Isa melihatbagaimana para pendeta memperlakukan
mereka dan memangsa mereka seperti serigala yang buas. Nabi Isa berpikir
di dalam dirinya, mengapa binatang-binatang itu mereka bakar lalu
dagingnya menjadi asap di udara, padahal di sana terdapat ribuan kaum
fakir yang mati kelaparan? Mengapa mereka mengira bahwa Allah SWT ridha
ketika tempat penyembelihan dilumuri dengan darah, lalu hewan kurban itu
dibawa ke rumah-rumah para pendeta dan toko-toko mereka untuk dijual?
Mengapa orang-orang fakir banyak berhutang dan mengeluarkan banyak uang
untuk membeli binatang-binatang kurban? Mengapa binatang-binatang kurban
itu harus dimiliki dan hanya dirawat oleh para pendeta lalu apa yang
mereka lakukan dengan uang-uang ini? Lalu, di manakah tempat orang-orang
fakir di haikal itu? Bukankah hal yang aneh ketika seseorang memasuki
rumah dengan keharusan membawa uang?
Nabi
Isa pergi dari tempat penyembahan itu dan ia meninggalkan kota menuju
gunung. Dada Nabi Isa dipenuhi dengan kecemburuan yang suci terhadap
yang Maha Benar. Wajahnya tampak semakin pucat ketika melihat berbagai
macam kejahatan memenuhi dunia. Nabi Isa berdiri di atas sebuah bukit
dan beliau mulai melakukan salat. Tetesan-tetesan air mata mulai
berlinang dari pipinya dan jatuh ke bumi. Nabi Isa mulai merenung dan
menangis. Di sana terdapat bunga yang nyaris mati karena kehausan lalu
ketika ia mendapatkan tetesan air mata al-Masih, maka bunga itu mekar
kembali dan mendapatkan kehidupan. Tetesan air mata al-Masih
menyelamatkannya, sebagaimana beliau akan menyelamatkan manusia dengan
dakwahnya. Di malam yang penuh berkah ini pula, dua orang Nabi yang
mulia meninggalkan bumi, yaitu Nabi Yahya dan Nabi Zakaria. Kedua Nabi
itu dibunuh oleh penguasa. Sejak kepergian mereka berdua, bumi
kehilangan banyak dari kebaikan. Pada malam itu juga, turunlah wahyu
kepada Isa bin Maryam. Allah SWT memutuskan perintah-Nya agar ia memulai
dakwahnya.
Nabi
Isa menutup lembaran halus dari kehidupannya yaitu lembaran yang penuh
dengan tafakur dan ibadah. Beliau memulai perjalanannya yang berat dan
penuh tantangan serta penderitaan: beliau mulai berdakwah di jalan Allah
SWT; beliau mulai membangun kerajaan yang tegak berdasarkan kerendahan
hati dan cinta. Kerajaan yang penguasanya bertujuan untuk membebaskan
dan menyucikan ruh. Kerajaan yang memancarkan sikap rendah diri dan
cinta. Nabi Isa ingin menyelamatkan ruhani. Ajaran Nabi Isa berdasarkan
keimanan terhadap hari kiamat dan kebangkitan. Nilai-nilai dan pemikiran
tersebut tidak ditemukan dalam kehi-dupan orang-orang Yahudi.
Syariat
Musa menetapkan pemberlakuan hukum qisas: barangsiapa yang memukulmu di
pipi sebelah kananmu, maka pukullah pipi sebelah kanannya. Lalu
bagaimanakah orang-orang Yahudi menerapkan hukum qisas tersebut? Jika
yang dipukul mampu untuk menghancurkan rumah orang yang memukul, maka ia
tidak perlu merasa puas hanya sekadar memukul pipi sebelah kanannya,
namum jika ia tidak mampu, maka hendaklah ia memukul pipi sebelah
kanannya. Namun boleh jadi hatinya dipenuhi dengan dendam karena ia
tidak dapat menghancurkan rumahnya.
Jadi,
kebencian adalah pelabuhan tempat bersinggahnya syariat Musa. Meskipun
beliau adalah seorang Nabi yang merupakan cermin cinta Ilahi yang besar
namun syariatnya kini berada di bawah kekuasaan hati-hati yang mati,
yaitu hati-hati yang penuh dengan dendam dan kebencian. Lalu, apa yang
dilakukan Nabi Isa terhadap semua ini? Allah SWT telah mengutusnya dan
memperkuat Taurat yang dibawa oleh Musa sebagaimana Allah SWT
menurunkannya kepada Musa. Jadi, seorang nabi tidak menghancurkan tugas
nabi sebelumnya. Para nabi bagaikan satu mata rantai yang tujuannya
adalah satu, yaitu menciptakan kesucian dan mempertahankan kebenaran
serta mengesakan Allah SWT.
Kemudian
apa yang dilakukan Nabi Isa terhadap syariat qisas cersebut? Yang
jelas, tindakan yang dilakukkan oleh Nabi Isa murni dari ilham yang
didapatnya dari Allah SWT. Nabi Isa mengem-balikan kaum kepada tujuan
asli dari syariat. Nabi Isa mengembalikan mereka kepada hikmah syariat
yang asli. Nabi Isa mengembalikan mereka kepada cinta. Nabi Isa tidak
mengatakan sesuatu pun kepada orang yang memukul pipi sebelah kanannya.
Nabi Isa tidak berusaha untuk memukul pipi sebelah kanannya. Al-Masih
justru akan membalikkan pipi sebelah kirinya. Inilah syariat Nabi Isa
yang tidak berbeda sedikit pun dengan syariat Nabi Musa. Ia merupakan
kedalaman yang mengagumkan dari kedalaman syariat Nabi Musa. Nabi Isa
ingin menetapkan kepada kaum di sekelilinginya tentang sesuatu yang
penting. Nabi Isa ingin memberitahu mereka bahwa syariat bukan mengajari
kalian untuk meletakkan dendam pada diri kalian lalu kalian memukul
lawan kalian. Syariat yang hakiki adalah, hendaklah kalian menebar kasih
sayang, pemaaf, dan cinta.
Terdapat
banyak binatang-binatang buas di hutan. Binatang-binatang itu mencintai
diri mereka sendiri. Mereka bermusuhan dan saling membunuh demi makanan
dan minuman. Mereka memberikan makan kepada anak-anaknya. Perbedaan
antara manu-sia dan binatang adalah perbedaan pada tingkat cinta. Hewan
tidak akan mampu melampui derajat cintanya kepada makhluk yang lain.
Atau dengan kata lain, hewan tidak dapat membagi cintanya kepada jenis
yang lain. Sedangkan manusia mampu melakukan hal itu. Di situlah manusia
mampu dapat mencapai kemuliaannya dan kemanusiaannya. Al-Masih
memberitahu kaumnya bahwa manusia tidak akan menjadi manusia sempurna
kecuali setelah ia mencintai orang lain sebagaimana ia mendntai dirinya
sendiri.
“Aku
mendengar bahwa dikatakan, hendaklah engkau mencintai orang yang dekat
denganmu dan membenci musuhmu, sedangkan aku berkata kepada kalian,
cintailah musuh kalian dan doakanlah orang yang melaknati kalian.
Berbuat baiklah kepada pembenci kalian dan salatlah untuk orang-orang
berbuat buruk kepada kalian.” (Injil Mata).
Dakwah
Nabi Isa datang dan menghapus syariat Nabi Musa dalam bentuk eksternal.
Jika kita berusaha membandingkan dua syariat tersebut dalam bentuk yang
sederhana, maka pada hakikat-nya dakwah Nabi Isa bertujuan untuk
menghapus bid’ah yang dilakukan oleh kaum Farisiun dan Shaduqiun
terhadap syariat Nabi Musa dan menunjukkan hakikat syariat ini dan
tujuan-tujuannya yang tinggi. Di tengah-tengah masa materialisme yang
sangat luar biasa dan dunia dipenuhi dengan penyembahan terhadap emas
dan tersebarnya berbagai macam kejahatan, munculah dakwah al-Masih
sebagai reaksi ideal yang menunjukkan ketinggian dan kesucian. Al-Masih
mengetahui bahwa ia mengajak manusia untuk menciptakan perilaku ideal
dalam kehidupan; Al-Masih menyadari bahwa dakwahnya penuh dengan
idealisme tetapi idealisme ini sendiri pada saat yang sama merupakan
solusi satu-satunya untuk mengobati kehidupan dari kesengsaraan dan
penyakit-penyakit menular; Al-Masih mengetahui bahwa tidak semua manusia
tidak mampu untuk mencapai puncak yang diisyaratkannya. Tetapi paling
tidak, hendaklah setiap orang berusaha sedikit mendaki sehingga ia
selamat.
Dakwah
Nabi Isa terdiri dari kesudan yang mengagumkan; dakwah Nabi Isa
bertujuan untuk menyelamatkan ruh atau dakwah yang dapat dianggap
sebagai pedoman perilaku individu, bukan suatu system
perincian-perincian tersebut dan hanya memfokuskan kepada sumber utama,
yaitu ruh. Isa ingin raenghidupkan ruhani manusia dan membimbingnya
untuk mencapai cahaya Sang Pencipta. Oleh karena itu, Isa datang dengan
didukung oleh ruhul kudus. Ruhul kudus adalah Jibril. Kita tidak
mengetahui bagaimana Allah SWT memperkuat Isa dengan Ruh Kudus: apakah
Jibril menemaninya dan menyertainya sepanjang pengutusannya? Jibril
turun kepada nabi untuk menyampaikan risalah atau membawa mukjizat atau
justru mendatangkan hukuman atas kaumnya, tetapi ia tidak bersama mereka
sepanjang waktu. Oleh karena itu, apakah memang Jibril menemani Isa
sehingga beliau diangkat ke langit?
Hampir
saja hati menjadi tenang dengan tafsiran ini karena dalam kehidupan
Nabi Isa terdapat sisi-sisi malaikat di mana beliau mempunyai kemampuan
yang luar biasa yang berupa mukjizat-mukjizat. Bahkan kemampuan beliau
sampai pada batas menghidupkan orang-orang mati dengan izin Allah SWT.
Begitu juga, beliau memiliki kemampuan yang luar biasa di mana beliau
dengan hanya meniupkan pada suatu tanah, maka tanah itu terbentuk
menjadi burung dan ia terbang dengan izin Allah SWT. Selain itu, Nabi
Isa sama sekali tidak mendekati wanita sepanjang hidupnya sehingga
beliau diangkat oleh Allah SWT. Beliau tidak menikah. Ini juga sifat
malaikat di mana kita saksikan bahwa sebagian para nabi yang diutus oleh
Allah SWT dan memiliki beberapa wanita bahkan kitab-kitab Yahudi
menyebutkan bahwa jumlah istri-istri nabi mereka Sulaiman misalnya,
mencapai seribu wanita.
Isa
hidup dalam keadaan tenggelam dalam ibadah seperti anak dari bibinya,
yaitu Yahya. Jika Yahya khusuk beribadah dan tinggal di gunung dan gurun
bahkan dia menginap di gua, maka hal itu adalah hal yang alami baginya,
sedangkan Isa hidup justru di tengah-tengah masyarakat kota.
Persoalannya adalah, bukan hanya Isa tidak terkait hubungan dengan
seorang wanita dan bukan hanya mukjizat-mukjizat yang diperolehnya yang
luar biasa yang berhubungan dengan ruh, tetapi yang lebih dari itu
adalah, bahwa beliau didukung oleh ruhul kudus sepanjang masa dakwahnya.
Tentu itu adalah nikmat yang tak seorang pun dari para nabi sebelumnya
diberi. Allah SWT berfirman:
“(Ingatlah),
ketika Allah mengatakan: ‘Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan roh kudus.
Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan
sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis,
hikmah, Taurat, dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk
dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian
kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya)
dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang
buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan
seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari
kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku
menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala
kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu
orang-orang kafir di antara mereka berkata: ‘Ini tidak lain hanya sehir
yang nyata.’ Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa
yang setia: ‘Berimanlah kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.’ Mereka
nienjawab: ‘Kami telah beiiman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).’”
(QS. al-Maidah: 110-111)
Ayat-ayat
tersebut menyebutkan lima mukjizat Nabi Isa. Pertama, bahwa beliau
mampu berbicara dengan manusia saat beliau masih di buaian. Kedua,
beliau diajari Taurat dan Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa telah
tersembunyi dan telah mengalami perubahan yang dilakukan oleh
orang-orang cerdik dari kaum Yahudi. Ketiga, beliau membentuk tanah
seperti burung kemudian meniupkannya lalu tanah itu menjadi burung.
Keempat, beliau mampu menghidupkan orang-orang yang mati. Kelima, beliau
mampu menyembuhkan orang yang buta dan orang yang belang. Terdapat
mukjizat yang keenam yang disebutkan dalam Al-Qur’an al-Karim:
“(Ingatlah),
ketika pengikut-pengikut Isa berkata: ‘Hai Isa putra Maryam,
bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?’ Isa
menjawab: ‘Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orangyang
beriman.’ Mereka berkata: ‘Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya
tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar
kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan
itu.’ Isa putra Maryam berdoa: ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya
kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi
hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang
datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah
kami dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.’
Allah berfirman:
‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa
yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya
Aku ahan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan
kepada seorang pun di antara umat manusia.’” (QS. al-Maidah: 112-115)
Mukjizat
yang keenam itu adalah turunnya makanan dari langit karena permintaan
Hawariyin. Juga terdapat mukjizat yang ketujuh yang terdapat surah Ali
‘Imran yaitu beliau diberi kemampuan melihat hal-hal yang gaib melalui
panca inderanya meskipun beliau tidak menyaksikannya secara langsung.
Oleh karena itu, beliau memberitahu kepada sahabat-sahabatnya dan
murid-muridnya apa yang mereka makan dan apa yang mereka simpan di
rumah-rumah mereka:
“Dan
aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di
rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda
(kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu benar-benar beriman. ” (QS.
Ali ‘Imran:: 49)
Inilah
mukjizat Nabi Isa yang ketujuh yang didahului oleh mukjizat
kelahirannya yang sangat mengagumkan. Beliau lahir tanpa seorang ayah,
lalu diikuti mukjizat berikutnya di mana beliau diangkat dari bumi ke
langit ketika penguasa yang lalim berusaha menyalibnya. Barangkali
pembaca akan bertanya-tanya: mengapa mukjizat-mukjizat seperti ini
diperoleh oleh Nabi Isa? Kita mengetahui bahwa mukjizat adalah hal yang
luar biasa yang Allah SWT berikan kepada nabi-Nya. Tetapi pemberian itu
menjadi sempuma jika mukjizat itu disesuaikan dengan keadaan zaman
diutusnya nabi tersebut sehingga mukjizat itu sangat berpengaruh dalam
jiwa kaum dan mampu menggoncangkan hati mereka dan menjadikan mereka
berimana kepada pemilik mukjizat ini. Jadi, mukjizat menjadi suatu hal
yang luar biasa. Oleh karena itu, Allah SWT berkehendak agar mukjizat
ini sesuai dengan zaman diutusnya nabi tersebut.
Jadi,
setiap mukjizat yang dibawa oleh rasul selalu berlain-lainan. Nabi
Saleh diutus di tengah-tengah kaum yang melihat bagaimana seekor unta
yang melahirkan dari gunung atau mampu membelah batu-batuan gunung.
Sedangkan Nabi Musa diutus di tengah-tengah kaum yang gemar memainkan
sihir sehingga sihir mendapat tempat istimewa. Oleh karena itu, mukjizat
yang dibawa oleh Nabi Musa bentuk lahirnya seakan-akan menyerupai
sihir, tetapi pada hakikatnya ia justru menjatuhkan sihir. Mukjizat itu
berupa tongkat yang menjadi ular dan kemudian ular itu memakan
tongkat-tongkat para tukang sihir.
Lain
halnya dengan Nabi Isa, beliau diutus di tengah-tengah kaum materialis
yang mengingkari ruh dan hari kebangkitan. Mereka menduga bahwa manusia
hanya sekadar tubuh tanpa ruh. Mereka adalah kaum yang meyakini bahwa
darah makhluk adalah ruhnya atau jiwanya. Taurat yang ada di tangan
Yahudi menyebutkan bahwa tafsir an-Nafst adalah darah. Disebutkan di
dalamnya:“Janganlah engkau memakan darah dari tubuh manusia karena jiwa
setiap tubuh adalah darahnya. “
Nabi
Isa diutus di tengah-tengah kaum yang mereka disesatkan oleh falsafah
yang dasarnya mengatakan bahwa penciptaan alam memiliki sumber pertama,
seperti sebab dari akibat. Jadi, alam memiliki wujud yang mendahuluinya.
Di tengah-tengah masa yang niaterialis ini, di mana ruh diingkari, maka
secara logis mukjizat Nabi Isa terkait dengan usaha menunjukkan alam
ruhani. Demikianlah Isa dilahirkan tanpa seorang ayah. Mukjizat ini
cukup untuk membungkam kaum yang mengatakan bahwa alam memiliki sumber
pertama. Jelas bahwa alam tidak memiliki wujud yang mendahuluinya. Kita
berada di hadapan Sang Pencipta yang mengadakan sistem bagi segala
sesuatu dan menjadikan sebab bagi segala sesuatu. Dia menjadikan proses
kelahiran anak berasal dari hubungan laki-laki dan wanita, tetapi
Pencipta ini sendiri menciptakan sebab-sebab dan sebab-sebab itu tunduk
kepadanya sedangkan Dia tidak tunduk kepada sebab-sebab itu. Dengan
kehendak-Nya yang bebas, Dia mampu memerintahkan kelahiran anak tanpa
melalui ayah sehingga anak itu lahir. Dan, kelahiran Isa pun terjadi
tanpa seorang ayah. Cukup ditiupkan ruh kepadanya:
“Lalu
Kami tiupkan ke dalamnya (tubuhnya) roh dari Kami dan Kami jadikan dia
dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. ” (QS.
al-Anbiya’: 91)
Kelahiran
Isa membawa mukjizat yang luar biasa yang menegaskan dua hal: pertama,
kebebasan kehendak Ilahi dan ketidak terkaitannya dengan sebab karena
Dia adalah Pencipta sebab-sebab, kedua pentingnya ruh dan menjelaskan
kedudukannya serta nilainya di antara kaum yang hanya mementingkan fisik
sehingga mereka mengingkari ruh. Seandainya kita mengamati sebagian
besar mukjizat Nabi Isa, maka kita akan melihatnya dan mendukung
pandangan tersebut. Misalnya, mukjizat Nabi Isa yang mampu membentuk
tanah seperti burung lalu beliau meniupkannya sehingga tanah itu menjadi
burung. Mukjizat ini pun menguatkan adanya ruh. Semula ia berupa tanah
yang bersifat fisik yang tidak dapat disifati dengan kehidupan tetapi
ketika Nabi Isa meniupnya, maka segenggam tanah itu menjadi burung yang
memiliki kehidupan, Sungguh sesuatu yang bukan fisik masuk ke dalamnya.
Sesuatu itu adalah ruh.
Ruh itu masuk ke dalam tanah sehingga ia menjadi
burung. Jadi, ruh adalah nilai yang hakiki, bukan jasad atau fisik. Di
samping itu, juga ada mukjizat menghidupkan orang-orang yang mati.
Bukankah ini juga menunjukkan adanya ruh dan adanya hari akhir atau hari
kebangkitan. Orang yang mati telah ditelan oleh bumi di mana anggota
tubuhnya telah hancur berantakan sehingga ia hampir menjadi
tulang-belulang yang hancur lalu al-Masih memanggilnya dan tiba-tiba dia
hidup kembali dan bangkit dari kematiannya.
Seandainya
orang yang mati hanya berupa fisik sebagaimana dikatakan orang-orang
Yahudi, maka ia tidak akan mampu bangkit dari kematiannya karena
fisiknya telah hancur tetapi mayit itu mampu bangkit dari kematian.
Jasadnya kembali hidup dan ia bangkit dari kuburannya serta berbicara.
Jadi, ruh adalah nilai yang hakild. bukan fisik atau jasad. Kalau
begitu, di sana terdapat hari kebangkitan dan hari kiamat. Hal ini
bukanlah mustahil sebagaimana yang dikatakan orang-orang Yahudi, karena
setelah kematian jasad menjadi tanah yang berterbangan di udara. Itu
bukan mustahil tetapi mungkin-mungkin saja. Dalil dari hal itu adalah,
kebangkitan orang-orang yang telah mati di hadapan mata kepala mereka
sendiri. Nabi Isa telah menghidupkan mereka agar kaumya vakin bahwa
kiamat fisik akan terjadi dari kematian dan itu adalah benar dan bahwa
hari akhir adalah benar.
Juga
terdapat mukjizat yang lain, yaitu beliau mampu memberi tahu kaumnya
tentang apa yang mereka simpan di rumah-rumah mereka, tanpa terlebih
dahulu beliau masuk ke rumah mereka atau dapat bocoran dari seseorang.
Mukjizat ini menetapkan bahwa panca indera bukanlah nilai yang hakiki.
Nabi Isa tidak melihat apa yang ada di rumah mereka tetapi ruhnya mampu
untuk melihat dan berbicara atau memberitahu mereka. Jadi, ruhani adalah
nilai yang hakiki, bukan fisik. Demikianlah mukjizat-mukjizat Isa
datang untuk memberitahukan pentingnya ruh dan kebebasan kehendak Ilahi.
Mukjizat-mukjizat Nabi Isa—sebagaimana dikatakan oleh guru kami
Muhammad Abu Zahra’—termasuk dari jenis propagandanya dan sesuai dengan
tujuan risalahnya, yaitu dakwah untuk mendidik ruhani dan keimanan
kepada hari kebangkitan dan hari kemudian, dan di sana ada kehidupan
lain di mana seseorang yang berbuat baik akan dibalas kebaikannya dan
orang yang berbuat buruk akan dibalas keburukannya.
Lalu,
apakah mukjizat menghidupkan orang-orang yang mati masih memberikan
celah kepada para pengingkar akhirat untuk terus mengingkarinya atau
memberikan ruangan kepada penentang hari kebangkitan untuk meneruskan
penentangannya? Kami telah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi telah
diracuni dengan pikiran ketidakpercayaan atau penentangan pada hari
akhirat serta tidak beriman kepada hari akhir, maka menghidupkan
orang-orang yang mati yang dibawa atau dikuasai oleh Isa menjadi suatu
pukulan telak bagi mereka yang membuat mereka beriman, tetapi mereka
masih menentang tanda-tanda kebesaran Allah.
Nabi
Isa menutup lembaran kehidupannya yang lembut dan dan ia mulai
berdakwah di jalan Allah. Beliau didukung oleh ruhul kudusdan
mukjizat-mukjizat yang luar biasa. Al-Qur’an al-Karim menceritakan
kepada kita bahwa esensi dakwah al-Masih tidak banyak berubah dari
esensi dakwah para nabi sebelumnya, yaitu menyuarakan Islam yang intinya
adalah menebarkan tauhid yang sempurna hanya serta menyerahkan diri
kepada Allah: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian.”
Al-Qur’an
memberitahu kita bahwa yang mengatakan kalimat tersebut adalah Isa.
Kalimat tersebut adalah kalimat yang sama yang pernah disampaikan
seluruh nabi, meskipun nama mereka, sifat mereka, mukjizat mereka, baju
mereka, bahasa mereka, usia mereka, bentuk mereka, dan warna kulit
mereka tidak sama. Mereka semua bersepakat untuk menyuarakan Islam dan
hanya menyerahkan diri kepada Allah SWT serta beriman bahwa Allah SWT
adalah Tuhan mereka dan Tuhan alam semesta. Tiada sekutu bagi-Nya dan
tiada yang setara dengan-Nya. Dia Maha Esa yang tidak beranak dan tidak
diperanakkan dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Isa
tidak mengatakan persoalan tauhid lebih banyak atau lebih sedikit dari
apa yang pemah disampaikan oleh para nabi. Al-Qur’an datang kira-kira
setelah lima ratus tahun dari pengangkatan Nabi Isa. Allah SWT, melalui
ilmu-Nya yang azali mengetahui apa yang terjadi di tengah-tengah kaum
Masehi di mana mereka berselisih tentang hakikat Isa. Oleh karena itu,
Al-Qur’an al-Karim berusaha menyingkap dialog mereka yang belum terjadi.
Allah SWT berfirman:
“Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan
selain Allah?’ Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang
ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang
gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau
perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu: ‘Sembahlah Allah, Tuhanku,
dan Tuhanmu,’ dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di
antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang
mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala
sesuatu.’” (QS. al-Maidah: 116-117)
Al-Qur’an
secara tegas mengatakan bahwa dakwah al-Masih adalah dakwah tauhid.
Al-Qur’an ingin mengatakan bahwa al-Masih terlepas dari segala tuduhan
yang dialamatkan kepadanya, yaitu tuduhan bahwa ia anak Tuhan atau ia
justru tuhan itu sendiri. “Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka
kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu:
‘Sembahluh Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu.”
Nabi
Isa pergi berdakwah di jalan Allah SMT. Inti dakwahnya adalah, bahwa
tidak ada perantara antara Pencipta dan makhluk; tidak ada perantara
antara seorang penyembah dan yang disembah. Allah SWT menurunkan kitab
Injil kepada Nabi Isa. Ia adalah kitab suci yang datang untuk
membenarkan Taurat dan berusaha menghidupkan syariatnya yang pertama.
Injil adalah cahaya, petunjuk, dan peringatan bagi orang-orang yang
bertakwa. Nabi Isa ingin meluruskan tafsiran orang-orang Yahudi terhadap
syariat di mana mereka menyampaikan tafsir dari syariat itu secara
harfiah dan sesuai dengan kepentingan mereka. Nabi Isa menenangkan
orang-orang yang yang menjaga syariat bahwa ia tidak datang untuk
menghilangkan syariat, tetapi ia datang untuk menyempurnakannya dan
menyelesaikan tugas para nabi. Namun Isa lebih menekankan pada
penafsiran esensinya, bukan kepada bentuk lahiriahnya.
Nabi
Isa memberi pengertian kepada orang-orang Yahudi bahwa sepuluh wasiat
yang dibawa oleh Isa mengandung makna-makna yang lebih dalam dari apa
yang mereka bayangkan. Wasiat yang keenam bukan hanya melarang
pembunuhan materi, sebagaimana yang mereka pahami tetapi juga menyangkut
penindasan dan usaha rnencelakakan orang lain. Sedangkan wasiat yang
ketujuh bukan hanya melarang zina (dalam pengertian terjadinya hubungan
antara laki-laki dengan perempuan melalui cara-cara yang tidak sah),
tetapi zina berarti segala bentuk perbuatan yang menjurus kepada dosa.
Misalnya, ketika mata diarahkan kepada lawan jenis disertai syahwat dan
hasrat seksual, maka itu pun berarti zina. Nabi Isa berkata:
“Sesungguhnya lebih baik bagi manusia untuk menghindarkan matanya dari
sesuatu yang dapat menghancurkannya daripada ia harus hancur dengan mata
itu sendiri. Syariat yang dibawa oleh Isa melarang untuk melanggar
sumpah dan janji Nabi Isa memberi pengertian kepada kaumnya bahwa
hendaklah mereka tidak melakukan sumpah palsu karena merupakan
“kesalahan besar jika nama Allah dibuat main-main di atas mulut-mulut
manusia.” (Injil Mata 21 sampai 48).
Dakwah
Nabi Isa juga berbenturan dengan arus materialisme yang sangat
mendominasi masyarakat saat itu. Oleh karena itu, beliau mengingatkan
manusia dari perbuatan munaflk, pamrih, tamak, dan gila pujian. Begitu
juga beliau mengingatkan mereka dari sifat rakus terhadap kekayaan
dunia; beliau mengingatkan agar jangan sampai mereka menimbun harta di
dunia. Yakni, hendak lah mereka tidak memfokuskan perhatian mereka pada
urusan-urusan duniawi semata yang sifatnya tidak abadi. Tetapi hendaklah
rnereka memfokuskan perhatian mereka pada hal-hal yang bersifat samawi
(ukhrawi) karena itu bersifat abadi.
Nabi
Isa memberitahu kepada masyarakatnya agar mereka menjadi orang-orang
yang teliti saat memilih gaya hidup mereka karena pada gilirannya akal
mereka akan menjadi cermin darinya. Kecenderungan manusia itu terkait
kuat dengan hatinya. Jika hati tertuju kepada cahaya langit, maka
kehidupan manusia akan tampak bersinar tetapi jika hati tertuju pada
kegelapan dunia, maka kehidupannya pun tampak gelap. Nabi Isa
mengingatkan kaumnya dari sikap pamrih dan cinta dunia. Beliau mengajak
mereka untuk teliti dalam memilih majikan yang mereka mengabdi kepadanya
karena manusia tidak dapat mengabdi kepada dua majikan dalam satu
waktu. Boleh jadi ia akan menjadikan harta sebagai majikannya, atau
boleh jadi ia akan menjadikan Allah SWT sebagai tuannya. Jika ia
menyembah harta, maka berarti ia jauh dari penyembahan terhadap
Tuhannya.
Oleh karena itu, hendaklah manusia menjauhi dunia, seperti
makanan dan pakaian di mana mereka akan dikuasai oleh kegelisahan dan
ketidaktenangan serta keraguan tentang penjagaan Allah SWT kepada
mereka. Allah SWT telah berjanji untuk memenuhi kebutuhan
hamba-hamba-Nya dalam kehidupan. Ketika timbul kegelisahan dan keraguan
pada diri mereka, maka itu dikarenakan keraguan mereka terhadap
penjagaan Allah SWT dan ketidakpercayaan mereka kepada janji-janjinya
dan rahmat-Nya serta bimbingan-Nya. Allah SWT-lah yang menciptakan
mereka dan Dia pula yang menjamin kehidupan mereka dan melindungi
mereka. Bahkan Dia juga melindungi makhluk yang paling kecil urusannya
seperti burung di langit dan kumbang-kumbang di kebun.
Nabi
Isa memberitahu kaumnya bahwa hanya memperhatikan dunia adalah hal yang
salah, yang tidak pantas dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Itu
adalah sikap para penyembah berhala karena penyembah berhala tidak
mengetahui apa yang lebih baik darinya, sedangkan orang-orang yang
beragama mengetahui bahwa di sana terdapat bimbingan Ilahi yang mengajak
mereka untuk percaya kepada Allah SWT dan tidak begitu peduli dengan
dunia. Allah SWT mengetahui kebutuhan-kebutuhan mereka lebih daripada
apa yang mereka ketahui; Allah SWT akan melindungi mereka dan akan
menjamin kehidupan mereka. Karena itu, yang layak bagi mereka adalah,
hendaklah mereka memohon agar diberi kekuasaan Allah SWT dan kebaikan
dari-Nya. Yakni kehidupan ruhani dan apa yang dikandungnya dari
kebahagiaan abadi.
Di samping itu, Nabi Isa
menasihati mereka agar jangan terlalu pusing dengan kejadian-kejadian
yang akan datang dan persoalan-persoalan esok hari karena esok hari
sudah berjalan sebagaimana mestinya. Jika kebutuhan dan penderitaan
datang silih berganti, maka bantuan dan perlindungan Ilahi pun terus
datang silih berganti. Dakwah Nabi Isa juga berbenturan dengan dualisme
yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Kita saksikan sebagaimana
mereka suka mendapatkan kebaikan yang ditujukan kepada diri mereka, maka
mereka pun biasa untuk melakukan kejahatan kepada orang-orang lain.
Demikianlah, kehidupan orang-orang Yahudi dicemari sikap dualisme ini.
Nabi Isa mewasiatkan kepada manusia agar mereka memperlakukan sesama
mereka sesuai dengan akidah yang mengatakan: “Perlakukanlah orang lain
sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri”
Nabi
Isa terus melangsungkan dakwahnya dan mengajak manusia untuk menyembah
Allah SWT serta tidak menyekutukan-Nya, sebagaimana beliau juga mengajak
manusia untuk membersihkan dan menyudkan ruhani serta hati dan berasaha
memasuki kerajaan langit. Dakwah Nabi Isa itu sangat memukul kalangan
para pendeta Yahudi. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Nabi Isa bagaikan
senjata yang siap menerpa wajah mereka dan menyatakan peperangan
terhadap mereka serta menyingkap kedok kemunafikan mereka. Mula-mula
pemerintahan Romawi tidak turut campur dalam masalah tersebut karena
mereka melihat bahwa itu hanya sekadar perselisihan internal antara
kelompok-kelompok Yahudi. Bagi mereka, selama orang-orang Yahudi sibuk
dengan masalah mereka sendiri dan tidak peduli dengan kekuasaan, mereka
pun tidak turut campur.
Kemudian
para pendeta Yahudi mulai merancang suatu persekongkolan untuk
menyingkirkan Isa. Mereka ingin mengusir Isa dan membuktikan bahwa Isa
datang untuk menghancurkan syariat Musa. Syariat Musa memutuskan untuk
merajam wanita yang berzina. Para pendeta Yahudi menghadirkan wanita
yang salah yang berhak dirajam. Mereka berkumpul di sekeliling Isa dan
bertanya kepadanya: “Tidakkah syariat menetapkan untuk merajam wanita
yang bersalah?” Isa menjawab: “Benar,” Mereka berkata: “Ini adalah
wanita yang bersalah.” Isa memandang wanita itu dan ia pun melihat para
pendeta Yahudi. Isa mengetahui bahwa para pendeta Yahudi lebih banyak
kesalahannya daripada wanita tersebut. Para pendeta itu menunggujawaban
Isa. Jika ia mengatakan bahwa wanita itu tidak berhak dibunuh, maka
berarti ia menentang syariat Musa, dan jika ia mengatakan bahwa ia
berhak dibunuh, maka ia justru menghancurkan dirinya sendiri yang
membawa syariat cinta dan toleransi. Nabi Isa memahami bahwa ini adalah
persekongkolan. Beliau tersenyum dan wajahnya tampak bercahaya. Kemudian
beliau melihat para pendeta Yahudi dan wanita itu sambil berkata:
“Barangsiapa di antara kalian yang tidak memiliki kesalahan, maka
hendaklah ia merajam wanita itu.”
Suara
beliau yang keras itu memecahkan keheningan tempat penyembahan. Beliau
menetapkan peraturan baru yang berhubungan dengan hukum yang dijatuhkan
kepada orang yang ber-buat salah. Hendaklah orang yang tidak berbuat
salah menghukum orang yang salah dan tidak berhak seseorang pun dari
kalangan manusia untuk menghukum orang yang bersalah jika ia sendiri
bersalah, tetapi yang menghukumnya adalah Allah SWT yang Maha Suci dan
Maha Tinggi dan Allah SWT adalah Maha Pengasih di antara yang mengasihi.
Nabi
Isa keluar dari tempat penyembahan itu. Tiba-tiba, wanita itu mengejar
dari belakangnya. Lalu wanita itu mengeluarkan dari pakaiannya satu
botol dari minyak yang berharga. Ia berdiri di depan Isa dan menjatuhkan
dirinya di atas kedua kaki Isa lalu menciumnya dan membasuhnya dengan
minyak wangi dan air mata. Setelah itu, ia mengeringkan kedua kakinya
dengan rambutnya. Bagi wanita itu, al-Masih mempakan harapan terakhir
yang dapat menyelamatkannya. Lalu keluarlah dari belakang Isa seorang
tokoh pendeta Yahudi. Ia berdiri menyaksikan pemandangan tersebut dan ia
merasa kagum terhadap kasih sayang Isa. Isa melihat kepadanya dan
bertanya; “Seorang kreditor yang memiliki dua orang debitor, salah
satunya berhutang lima ratus dinar dan yang lain lima puluh dinar.”
Pendeta itu berkata: “Ya.” Isa berkata: “Tak seorang pun dari mereka
berdua yang merniliki uang yang cukup untuk melunasi uangnya. Lalu si
kreditor memaafkan mereka dan membebaskan mereka dari hutang.” Pendeta
berkata: “Ya.” Kemudian Isa bertanya: “Siapa di antara mereka yang
paling senang kepada kreditor itu?” Pendeta menjawab: “Tentu yang
berhutang lebih besar.” Isa berkata: “Benar apa yang engkau ucapkan.
Lihadah wanita ini. Aku telah masuk ke rumahmu tetapi engkau tidak
memberikan kepadaku air agar aku dapat membasuh wajahku, tetapi wanita
itu membasuh kedua kakiku dengan air mata lalu ia mengusapnya dengan
rambut kepalanya. Begitu juga engkau tidak memberikan ciuman kepadaku
tetapi wanita ini tidak merasa puas dengan hanya mencium kedua kakiku.
Jadi, hatimu sungguh sangat keras tetapi hati wanita itu dipenuhi dengan
rasa cinta. Maka barangsiapa yang banyak mencintai niscaya
kesalahan-kesalahannya akan diampum.” Kemudian Isa menoleh ke wanita itu
dan memerintahkannya untuk bangkit dari tanah sambil berkata: “Ya
Allah, ampunilah wanita ini dan hilangkanlah kesalahan-kesalahannya.”
Nabi
Isa berusaha menyadarkan para pendeta Yahudi bahwa para dai yang
menyeru di jalan Allah SWT bukanlah algojoalgojo yang bengis yang
menerapkan hukum syariat tanpa melihat keadaan masyarakat yang bersalah,
tetapi mereka datang dan membawa ajaran Allah SWT yang merupakan ajaran
yang penuh dengan rahmat kepada manusia. Jadi, rahmat adalah tujuan
semua dakwah Ilahi ini. Bahkan diutusnya para nabi itu sendiri
mengandung rahmat Allah SWT terhadap kaum mereka.
Isa
terus berdoa kepada Allah SWT agar merahmati kaumnya. Beliau menyuruh
kaumnya agar menyayangi diri mereka sendiri dan beriman kepada Allah
SWT. Kehidupan Nabi Isa menggambarkan kezuhudan dan ketaatan dalam
ibadah. Mu’tamar bin Sulaiman berkata, sebagaimana diri wayatkan Ibnu
‘Asakir: “Nabi Isa menemui kaumnya dengan memakai pakian dari wol.
Beliau keluar dalam keadaan tidak beralas kaki sambil menangis serta
wajahnya tampak pucat karena kelaparan dan bibimya tampak kering karena
kehausan. Nabi Isa berkata, “salam kepada kalian wahai Bani Israil. Aku
adalah seseorang yang meletakkan dunia di tempatnya sesuai dengan izin
Allah SWT, tanpa bermaksud membanggakan diri. Apakah kalian mengetahui
di mana rumahku?” Mereka menjawab: “Di mana rumahmu wahai Ruhullah?”
Nabi
Isa menjawab: “Rumahku adalah mesjid, wewangianku adalah air makananku
adalah rasa lapar, pelitaku adalah bulan di waktu malam dan salatku di
waktu musim dingin di saat matahari terletak di timur, bungaku adalah
tanaman-tanaman bumi, pakaianku terbuat dari wol, syiarku adalah takut
kepada Tuhan Yang Maha Mulia, teman-temanku adalah orang-orang yang
fakir, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang miskin. Aku memasuki
waktu pagi dan aku tidak mendapati sesuatu pun di rumahku begitu juga
aku memasuki waktu sore dan aku tidak menemukan sesuatu pun di rumahku.
Aku adalah seseorang yang jiwanya bersih dan tidak tercemar. Maka
siapakah yang lebih kaya daripada aku?”
Isa
terus melakukan dakwahnya. Ia didukung oleh mukjizat dari Allah SWT.
Nabi Isa mampu membuat bentuk burung dari tanah kemudian ia meniupnya,
maka tanah itu menjadi burung dengan izin Allah SWT. Selain itu, ujung
bajunya yang sederhana jika tersentuh orang yang sakit, maka orang itu
akan sembuh. Bahkan jika Isa meletakkan tangannya di atas mata orang
yang buta atau orang yang terkena sakit belang niscaya ia akan sembuh.
Jadi, Nabi Isa didukung oleh mukjizat yang luar biasa. Bahkan beliau
mampu menghidupkan orang-orang yang mati dari kuburan mereka sehingga
mereka keluar dalam keadaan hidup dengan izin Allah SWT.
Para
ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Isa menghidupkan empat orang.
Pertama, al-Azir yaitu temannya. Kemudian dua orang anak laki-laki dari
seorang tua, dan seorang anak perempuan satu-satunya dari seorang ibu.
Mereka adalah tiga orang yang mati di zaman Nabi Isa. Ketika orang-orang
Yahudi melihat hal tersebut, mereka berkata: “Engkau menghidupkan
orang-orang yang mati dan kematian mereka tidak lama .Barangkali mereka
tidak mati tapi mereka sekadar mengalami keadaan tidak sadarkan diri
atau mati suri. Lalu mereka meminta kepada Nabi Isa untuk membangkitkan
Sam bin Nuh dari kematiannya.
Para
ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Isa bertanya kepada mereka, “Di
manakah kaum kuburan Sam bin Nuh?” Mereka keluar bersama Isa sehingga
mereka mencapai kuburan. Lalu Nabi Isa berdoa kepada Allah SWT agar
menghidupkan orang yang mati di situ. Sam bin Nuh keluar dari
kuburannya, dan rambut dikepala-nya tampak beruban. Isa berkata
kepadanya: “Bagaimana rambut di kepalamu bisa beruban, sementara di
zamanmu kau tidai. ada uban,” Sam berkata: “Ya Ruhullah, aku mendengar
engkau berdoa untukku lalu aku mendengar suara yang mengatakan, aku akan
mengabulkan wahai Ruhullah. Aku mengira bahwa kiamat telah tiba. Karena
takutnya kepada hal itu sehingga rambut di kepalaku beruban.”
Apa
pun yang dikatakan berkaitan dengan cerita itu yang menyebutkan tentang
bagaimana Nabi Isa menghidupkan orang-orang yang mati, namun kita tidak
mengetahui konteks Al-Qu’ran serta perincian-perincian yang menjelaskan
hal tersebut. Allah SWT hanya menyebutkan bahwa Isa menghidupkan
orang-orang yang mati dengan izin-Nya. Kita percaya bahwa Nabi Isa mampu
menghidupkan mereka tetapi kita tidak mengetahui apakah mereka mati
kembali setelah dihidupkan atau mereka sempat menjalani kehidupan selama
beberapa saat. Nabi Isa terus berjalan di jalan Allah SWT. Beliau
membuat bagi mereka apa yang disebut dengan hukum ruh. Beliau menaiki
gunung dan para sahabat-sahabatnya berdiri di sekitarnya. Nabi Isa
melihat orang-orang yang beriman kepadanya yang terdiri dari orang-orang
yang fakir, orang-orang yang menderita, dan orang- orang yang sedih.
Jumlah mereka sedikit sebagaimana lazimnya jumlah para pengikut nabi.
Gunung
diliputi dengan awan tipis dan turunlah hujan gerimis. Isa mulai
berbicara: “Sungguh beruntung bagi orang-orang miskin karena mereka
memiliki kerajaan langit. Beruntunglah orang-orang yang sedih karena
mereka akan menjadi orang-orang yang mulia. Beruntunglah yang diserahi
amanat karena mereka akan mewarisi bumi. Beruntunglah orang-orang yang
lapar dan haus karena mereka akan dikenyangkan. Beruntunglah orang-orang
yang menyayangi karena mereka akan disayangi. Beruntunglah orang-orang
yang bersih hatinya karena mereka akan melihat Allah SWT. Beruntunglah
orang-orang yang tertindas demi mempertahankan kebenaran karena mereka
akan mendapatkan kerajaan langit. Kalian adalah garam bumi jika garam
telah rusak, maka siapa gerangan yang dapat mengembalikannya menjadi
garam kembali.” Renungkanlah kedalaman ungkapan dari Nabi Isa, “kalian
adalah garam bumi.”
Garam
adalah sesuatu yang memberikan rasa yang khusus dan tanpa garam makanan
akan menjadi hambar. Yakni, tanpa orang-orang mukmin, maka cita rasa
kehidupan terasa tidak bermakna; tanpa kehadiran orang-orang Muslim dan
perbuatan mereka yang ikhlas terhadap Allah SWT akan tampak kehidupan
sangat berat dan tidak berarti. Di samping itu, kehadiran manusia
sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi pun sia-sia, dan keagungan
manusia sebagai hamba Allah SWT pun tidak bermakna, dan pada gilirannya
kehidupan akan dipenuhi dengan kejahatan dan keburukan.
Allah SWT teiah mewahyukan kepada “garam bumi” agar mereka beriman kepada Nabi Isa. Allah SWT berfirman:
“Dan
(ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut-pengikut Isa yang
setia: ‘Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.’ Mereka menjawab:
‘Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).’” (QS. al-Maidah:
111)
Al-Hawariyin
mengakui kebenaran ajaran Nabi Isa dan mereka menyatakan keislaman
kepadanya, sebagaimana ratu Saba’ mengakui kebenaran ajaran Nabi
Sulaiman dan menyatakan keislaman padanya, dan sebagaimana semua para
nabi menyatakan keislaman. Hakikat ajaran para nabi terbatas kepada
pernyataan keislaman dan semua nabi menyeru kepada jalan tauhid dan
jalan Islam. Islam dalam pandangan kami memiliki makna yang lebih dalam
daripada tauhid. Pengakuan seseorang terhadap Allah SWT dan keimanan
akan keesaan-Nya dalam menciptakan makhluk tidak mencegah orang itu
untuk berbuat dosa, sedangkan keislaman atau penyerahan hati dan anggota
badan serta pemikiran kepada Allah SWT merupakan suatu tingkatan
sedikit lebih tinggi. Ini adalah tingkat kepatuhan orang-orang yang
patuh dan puncak ketauhidan orang-orang yang bertauhid. Itu adalah
keserasian antara tindakan dengan pikiran, yaitu usaha manusia untuk
menghindari kesalahan dan memurnikan amal hanya untuk Allah SWT.
Al-Qur’an al-Karim memberitahu kita bahwa Allah SWT menyampaikan wahyu
kepada al-Hawariyin agar mereka beriman kepadanya dan kepada Rasul-Nya
Isa.
Marilah
kita renungkanlah sejenak tentang wahyu Allah SWT terhadap Hawariyin.
Kita mengetahui bahwa Allah SWT mewahyukan kepada manusia dan kepada
makhluk-makhluk lainnya. Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada lebah…” (QS. an-Nahl: 68)
Yang
dimaksud dengan wahyu di sini adalah memberikan ilham kepada makhluk
agar mereka menuju ke jalan fitrahnya yang telah Allah SWT gariskan di
atasnya sehingga mereka mencapai jalan kesempurnaan. Tidakkah Anda ingat
tentang jawaban Nabi Musa terhadap pertanyaan Fira’un:
“Fir’aun berkata: ‘Siapakah Tuhan kamu berdua wahai Musa. ” (QS. Thaha: 49)
“Musa
berkata: ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinsa petunjuk. ”
(QS. Thaha: 50)
Makna
di sana dan di sini sama. Makna yang sama tersebut diterapkan kepada
kaum Hawariyin di mana wahyu Allah SWT terhadap mereka berupa pemberian
ilham kepada mereka demi kebaikan mereka dan kebahagiaan mereka, dan
wahyu ini tidak bertentangan dengan ikhtiar mereka dan usaha mereka
serta keinginan mereka, bahkan tidak bertentangan dengan kebebasan
mereka. Allah SWT telah melihat hati mereka yang dipenuhi dengan
kebaikan. Dia melihat mereka sebagai garam bumi, maka Allah SWT
mewahyukan kepada mereka agar beriman kepadanya dan rasul-Nya sehingga
mereka pun beriman dan mereka pun bersaksi bahwa mereka orang-orang yang
berserah diri atau Muslim.
Tampaknya
kaum Hawariyin menyembunyikan keimanan mereka sehingga Isa merasakan
kekufuran kaumnya semakin menjadi-jadi lalu Isa memanggil mereka:
“Siapakah di antara kalian yang menolong aku menuju jalan Allah SWT?”
Allah SWT berfirman:
“Maka
tatkala Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkatalah
dia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk menegakkan
(agama) Allah?’ Para Hawariyin (sahabat-sahabat setia) menjawab:
‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan
sahsikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan
diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau
turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke
dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi.’” (QS. Ali ‘Imran: 52-53)
Nas
Al-Quran menunjukkan bahwa Nabi Isa mengajak mereka untuk mengikuti
Islam sehingga mereka pun berserah diri; nas Al-Quran menegaskan bahwa
Nabi Isa menyampaikan kabar gembira dengan kedatangan seorang rasul yang
datang setelahnya yang bernama Ahmad. Dikatakan dalam Al-Qur’an:
“Dan
(ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: ‘Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab yang
turun sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan
(datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad).’ Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ‘Ini adalah sihir yang nyata.’”
(QS. Shaff: 6)
Kita
tidak mengetahui secara pasti kapan Nabi Isa menyampaikan kabar berita
tentang kedatangan seorang rasul ini yang datang setelah masanya, yaitu
Ahmad saw. Apakah kabar berita itu beliau sampaikan dipermulaan
pengutusannya kepada manusia, atau apakah beliau menyampaikan kabar itu
pada akhir masa dakwahnya dan sebelum beliau diangkat ke langit? Tetapi
melihat konteks Al-Qur’an tampaknya kabar berita tersebut itu
disampaikan di permulaan dakwahnya, sebagaimana firman-Nya: “Maka
tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, mereka berkata: ‘lni adalah sihir yang nyata.‘”
Kata
ganti (dhamir) dalam ayat tersebut kembali kepada Nabi Isa. Ayat
tersebut menunjukkan bahwa Nabi Isa menyampaikan kabar gembira dengan
datangnya Muhammad atau Ahmad ketika Allah SWT mengutus kepada kaumnya.
Kemudian terjadilah di hadapan Nabi Isa berbagai macam mukjizat yang
luar biasa seperti penghidupan orang yang mati, peniupan tanah, dan
sebagainya. Ketika Nabi Isa datang membawa bukti-bukti yang jelas ini,
maka mereka menuduhnya bahwa ia membawa sihir. Nabi Isa mengetahui bahwa
tuduhan semacam ini telah dialamatkan kepada sebagian besar para nabi
sebelumnya. Beliau juga mengetahui bahwa nabi yang terakhir pun akan
mendapatkan tuduhan yang sama. Oleh karena itu, nabi yang mulia itu
tetap berdakwah di jalan Allah SWT dan tidak peduli dengan tuduhan
kaumnya yang mengatakan bahwa beliau membawa sihir.
Kemudian
pertentangan antara Nabi Isa dan Bani Israil semakin meningkat. Mereka
adalah orang-orang yang hatinya keras, yang membeku di hadapan
kebenaran. Isa datang kepada mereka dan menghancurkan segala pemikiran
mereka dan kehidupan mereka serta sistem mereka. Sesungguhnya dakwah
Nabi Isa terfokus kepada kebenaran, kedamaian dan keadilan dan pada saat
yang sama mengumumkan peperangan terhadap kehidupan orang-orang yang
lalim yang telah menjauhi kebenaran. keadilan, dan kedamaian. Injil Mata
menyebutkan melalui lisan Isa: “Jangalah kalian mengira bahwa aku
membawa kedamaian ke muka bumi. Aku tidak datang hanya membawa kedamaian
tetapi aku datang membawa pedang.”
Kalimat
tersebut menyiratkan hakikat yang penting dari hakikat dakwah para
nabi. Para nabi adalah pejuang sejati di mana senjata yang mereka
gunakan di medan peperangan beraneka ragam. tetapi mereka pada
hakikatnya adalah pejuang. Mereka memulai peperangan mereka dengan satu
pemikiran yaitu suatu tekad mengatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah
SWT. Pemikiran itu tentu berbenturan dengan kepercayaan akan tuhan-tuhan
yang diyakini oleh manusia, baik tuhan-tuhan yang terbuat dari emas
atau batu. Pemikiran itu sangat mengganggu ketenangan orang-orang yang
lalim atau penguasa yang bengis serta sangat melawan kepentingan mereka,
sehingga para raja dan para penguasa seperti biasanya bergerak
menentang nabi kecuali orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah SWT.
Para pembesar dari kalangan kaum nabi menentang nabi. Al-Mala’ adalah
para pembesar sebagaimana telah kami jelaskan dalam kisah Nabi Nuh dan
sesudahnya. Kemudian Nabi terus melangsungkan peperangan mewujudkan
tekadnya: Nabi meletakkan dasar peperangannya dengan menyampaikan
ketuhanan Allah SWT.
Setelah
meneguhkan dasar yang kuat ini, Nabi menetapkan keadilan. Tak seorang
pun berhak untuk menghinakan seseorang atau menjadikannya sebagai budak
karena penghambaan hanya pantas ditujukan kepada Allah SWT. Manusia
adalah sama di antara mereka sehingga tidak berhak seseorang untuk
memanfaatkan kekuatan manusia untuk membangun kejayaan pribadinya atau
unruk memperkaya dirinya dengan merugikan orang lain, atau menghancurkan
hak-hak mereka atau berbuat buruk terhadap mereka dalam berbagai
bentuknya. Jadi, inti dakwah para nabi berarti mengganti dan mengubah
sistem yang rusak yang didirikan oleh para pembesar kaumnya. Kalau
begitu, ia adalah dakwah yang menyatakan peperangan dan karena itu
seseorang nabi harus membava senjata. Setelah meneguhkan pemikiran
tersebut, dimulailah peperangan. Seorang nabi menggunakan pedang. Ia
berlindung di balik senjata dan senjata yang dimiliki oleh setiap nabi
berbeda-beda.
Mula-mula
seorang nabi tidak menggunakan senjata apa pun dalam peperangannya
selain berusaha untuk membangkitkan akal. Lalu peperangan semakin
meningkat sehingga nabi terpaksa untuk menggunakan senjata. Para musuh
memaksanya untuk menggunakan senjata sehingga para nabi pun menggunakan
senjata. Di sini setiap nabi mempunyai senjata yang berbeda-beda.
Terkadang senjata seorang nabi berupa mukjizat yang dapat menghentikan
langkah dan menghancurkan mereka seperti taufan (kisah Nabi Nuh) atau
angin (kisah Nabi Hud), dan terkadang senjata para nabi adalah mukjizat
yang membantunya untuk mengalahkan musuh-musuhnya secara pasti seperti
ditundukkannya jin dan burung baginya (kisah Nabi Sulaiman) dan senjata
nabi berupa mukjizat yang menyelamatkannya dari tipu daya musuh seperti
berubahnya api menjadi sesuatu yang dingin dan membawa keselamatan
(kisah Nabi Ibrahim) dan terkadang senjata nabi yang luar biasa yang
memperkuat dakwahnya seperti menghidupkan orang-orang yang mati (kisah
Nabi Isa) dan terkadang senjata nabi berupa pedang yang dipegang di
tangannya saat ia melangsungkan peperangan dan mempertahankan dakwahnya
(kisah Nabi Muhammad saw).
Jadi,
senjata para nabi berbeda-beda, baik dalam bentuk kualitas maupun
kapasitasnya. Allah SWT mengetahui kondisi mereka lebih dari apa yang
kita ketahui sehingga Allah SWT sangat tepat ketika memilihkan senjata
untuk setiap nabi. Dan tak seorang nabi pun yang tinggal di suatu tempat
sementara ia tidak berjuang dan tidak bergerak dan tidak mengalami
penderitaan dari kaumnya. Oleh karena itu, sesuai dengan kadar kesabaran
para nabi dan perjuangan mereka dalam menyampaikan dakwah di jalan
Allah SWT, mereka layak untuk mendapatkan tempat yang istimewa di sisi
Allah SWT.
Isa
bin Maryam telah menyampaikan bahwa beliau adalah seorang pejuang yang
membawa senjata. Kata-katanya sendiri berusaha menghancurkan masyarakat
yang keras, masyarakat yang bodoh. Masyarakat di zaman Nabi Isa berdiri
di atas kesalahan, kesyirikan, kebohongan, kemunafikan, meterialisme,
pamrih, kelaliman dan tidak ada kebebasan. Maka melalui
kalimat-kalimatnya, Nabi Isa menghancurkan semua ini. Nabi Isa
memberitahu kaumnya bahwa dakwahnya di jalan Allah SWT bukan terfokus
pada dakwah kedamaian tetapi dalam hal-hal tertentu dakwahnya pun berisi
pernyataan perang. Sesuatu menjadi tidak bernilai ketika tidak berusaha
dipertahankan oleh yang bersangkutan sampai tetes darah penghabisan.
Timbulnya pemikiran-pemikiran, nilai-nilai dan prinsip-prinsip tidak
hanya bersandar kepada idealismenya tetapi nilainya justru bersandar
kepada usaha keras yang dikerahkan oleh para pembawanya dalam rangka
mempertahankannya. Tanpa peperangan dan mengangkat senjata dakwah para
nabi akan menjadi pemikiran-pemikiran yang sekadar idealisme yang tidak
akan menghentikan seseorang pun dan tidak akan membangkitkan seseorang
pun.
Kita
mengetahui bahwa sebagian besar nabi berhadapan dengan kelompok besar
dari masyarakat yang menentangnya dan berusaha memeranginya. Mula-mula
mereka mengejeknya dan pada akhirnya mereka berusaha untuk membunuhnya.
Kita mengetahui bahwa para nabi berusaha mati-matian untuk
memperjuangkan kebenaran yang dibawanya. Melalui kisah para nabi, kita
mengetahui bahwa bagaimana serangan masyarakat, para pembesar, dan para
penguasa terhadap para nabi tetapi pada saat yang sama kita seakan-akan
tidak melihat bagaimana serangan para nabi terhadap mereka. Penjelasan
dari hal itu sangat mudah. Peperangan yang dibangkitkan oleh kebatilan
atas para nabi didukung oleh alat-alat yang canggih dan sangat kuat di
mana mereka memiliki berbagai macam sarana untuk menjatuhkan para nabi,
sedangkan para nabi hanya menyandarkan kekuatan dari yang Maha Benar,
yaitu Allah SWT; kekuatan yang tidak berdasarkan pada sebab-sebab
tertentu atau tidak peduli dengan tuduhan-tuduhan atau kegaduhan.
Para
nabi hanya terus melangsungkan dakwahnya yang berdasarkan kepada usaha
membangkitkan akal dan hati serta menvucikan ruh. Keteguhan sikap para
nabi ini bagi musuh-musuh mereka merupakan problem yang besar. Dakwah
nabi juga menjamah suatu keluarga di mana seorang ayah dapat beriman
sementara seorang anak dapat menentang atau seorang anak dapat beriman
sementara si ayah dapat menentang atau seorang istri beriman atau
seorang suami kafir atau seorang suami beriman sementara si istri kafir.
Perbedaan anak laki-laki dengan ayahnya dan seorang istri dengan
suaminya menimbulkan permusuhan di dalam rumah-rumah. Dengan terjadinya
hal ini, masyarakat bergerak untuk menentang nabi dan semakin
meningkatkan tekanan-tekanan mereka kepadanya sehingga permusuhan dan
kebencian mereka kepada nabi semakin meruncing. Mereka pun berusaha
untuk melawan nabi itu yang bagi mereka telah memisahkan antara ayah dan
anaknya atau ia datang untuk memisahkan seorang anak perempuan dari
ibunya.
Kemudian
seorang nabi meletakkan suatu undang-undang bagi orang yang
mengikutinya, yaitu undang-undang pokok yang membatalkan undang-undang
yang tidak sesuai dengannya. Undang-undang ini tampak dalam kalimat
nabi: “pertama-tama cinta kepada Allah dan kemudian cinta kepada nabi
dan setelah itu cinta kepada sesama manusia.” Makna-makna yang demikian
ini tercermin secara jelas dari kalimat-kalimat Isa yang disampaikan
oleh Injil Mata pada pasal ke-10.
Al-Masih
berkata: “Janganlah engkau mengira bahwa aku datang membawa kedamaian
di bumi, aku datang bukan hanya membawa kedamaian tetapi pedang. Aku
datang untuk menjadikan seorang anak berbeda dengan ayahnya dan seorang
anak perempuan berbeda dengan ibunya sehingga musuh seseorang justru
terdapat pada keluarganya. Maka barangsiapa yang mencintai ibunya dan
ayahnya lebih dari kecintaannya kepadaku, maka ia tidak berhak
mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintai anak laki-lakinya dan
perempuannya lebih dariku, maka ia tidak berhak mengikutiku. Meskipun
kehidupannya tampak beruntung sebenarnya ia telah rugi, dan barangsiapa
yang kehidupannya merugi karena aku, maka sebenarnya ia telah
beruntung.”
Penjelas
Injil mengatakan: “Pemikiran orang-orang Yahudi tentang al-Masih
adalah, ketika al-Masih datang, maka semua pengikutnya akan merampas
kekayaan dan kejayaan di dunia ini lalu ia hanya memberi mereka
ketenangan dan kedamaian. Ketika al-Masih datang, ia menjelaskan kepada
para muridnya bahwa hal tersebut tidak benar, karena jika ia datang
untuk memberikan kedamaian kepada para pengikutnya, maka mereka akan
terancam kelaliman dan mereka akan mati karena tajamnya pedang. Maka
hendaklah mereka tidak mengharapkan kedamaian tetapi peperangan;
hendaklah mereka tidak mengharapkan keserasian tetapi perpecahan.”
Demikianlah masyarakat Yahudi terbagi menjadi dua kelompok: kelompok
orang-orang yang fakir, orang-orang yang lemah dan orang-orang yang
bersih hatinya bersama Isa, sedangkan kelompok mayoritas menentang Isa.
Bahkan kelompok mayoritas kafir itu sering menyakiti Isa.
Injil
Mata menceritakan penderitaan al-Masih pada pasal ke-11. Ia
menceritakan bagaimana kemarahan al-Masih terhadap orang-orang yang
tidak mengabdi kepada Yuhana (Yahya) dengan baik atau mengabdi kepadanya
secara pribadi dengan baik. Injil Mata menguntip pernyataan Isa sebagai
berikut: “Dengan apa aku menyerupakan generasi ini, Sesungguhnya mereka
menyerupai anak-anak kecil yang duduk di pasar yang berteriak-teriak
memanggil teman-teman mereka sambil berkata: “Kami telah meniup seruling
tetapi kalian tidak menari. Kami mengasihi kalian tetapi kalian tidak
menangis.” Yuhana telah datang dan tidak makan dan minum tetapi mereka
mengatakan, sesungguhnya ia terkena setan. lalu datanglah seorang anak
manusia yang makan dan minurn lalu mereka mengatakan, ia adalah seorang
yang ahli makan dan ahli minum khamer.”
Dokumen
itu menunjukkan penderitaan al-Masih dan menyingkap peperangan yang
akan dihadapinya. Penderitaan yang dialami oleh hati suci al-Masih
adalah sebagai tindakan generasi tersebut di mana beliau diutus di
dalamnya sebagai orang yang memberi petunjuk dan menyampaikan berita
gembira tentang kerajaan langit. Beliau menyerupakan generasi Yahudi itu
dengan anak-anak kecil yang duduk-duduk di pasar sambil
berteriak-teriak memanggil teman-teman mereka sambil berkata: “kami
telah meniup seruling tetapi kalian tidak menari. Kami berbelas kasih
kepada kalian tetapi kalian tidak menangis.” Al-Masih mengisyaratkan
dengan pernyataan itu tentang apa yang diperbuat anak-anak kecil saat
mereka bermain-main, di mana biasanya mereka meniru orang-orang yang
besar saat mereka bergembira dengan menari-nari dan saat mereka sedih
mereka menangis. Demikianlah mereka sangat cepat berubah antara
bergembira dan sedih tanpa melalui pertimbangan dan kesadaran.
Demikianlah keadaaan orang-orang Yahudi saat mereka mengabdi kepada
Yahya, kemudian saat mereka mengabdi kepada al-Masih. Yahya telah datang
kepada mereka dalam keadaan menangis, tidak makan dan tidak minum dari
apa yang mereka makan dan yang mereka minum. Ia tidak bergaul dengan
sembarangan manusia. Telah datang kepada mereka seorang nabi yang ahli
ibadah tetapi kebanyakan mereka menolaknya dan mereka mengatakan bahwa
ia terkena setan. Kemudian datang kepada mereka al-Masih di mana ia
makan dan minum bersama pada acara walimah dan hari raya lalu mereka pun
menolaknya dan mengatakan bahwa ia suka makan dan minum khamer padahal
beliau adalah cermin terbesar dalam menghilangkan syahwat dan kesucian
yang sempurna.
Alhasil,
generasi itu adalah generasi yang main-main Iayaknya anak kecil. Tidak
ada sesuatu pun yang dapat mempengaruhi mereka dan mereka tidak mau
bertaubat. Meskipun demikian, di sana terdapat kelompok kecil dari
manusia yang terpengaruh dan bertaubat. Dokumen tersebut menunjukkan
betapa beratnya penderitaan Isa di tengah-tengah generasi yang sezaman
dengannya. Isa mengalami banyak penderitaan dalam menyampaikan
dakwahnya. Isa banyak menderita di tengah-tengah kaum yang pikiran
mereka belum matang. Mereka tak ubahnya seperti anak-anak kecil yang
suka bermain-main. Kaum yang tak tergugah oleh kalimat-kalimat yang baik
dan mereka tidak bergerak atau tersentuh ketika menyaksikan
mukjizat-mukjizat yang luar biasa.
Allah
SWT kembali memperkuat Isa dengan mukjizat-mukjizat yang mengagumkan.
Mukjizat di sini adalah senjata yang diberikan Allah SWT kepada nabi-Nya
agar nabi tersebut menjadi tenteram dan agar menambah keyakinan
orang-orang yang beriman kepadanya, sedangkan bagi orang-orang kafir
mukjizat tersebut justru menambah kekufuran mereka sehingga Allah SWT
memberikan pembalasan yang setimpal kepada kedua kelompok tersebut.
Mukjizat yang Allah SWT berikan kepada Isa bin Maryam yang lain adalah,
Allah SWT mengabulkan doa Hawariyin dengan menurunkan makanan dari
langit. Allah SWT berfirman:
“(Ingatlah),
ketika pengikut-pengikut Isa berkata: ‘Hai Isa putra Maryam,
bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?’ Isa
menjawab: ‘Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang
beriman.’ Mereka berkata: ‘Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya
tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar
kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan
itu.‘ Isa putra Maryam berdoa: ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya
kepada hami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi
hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang
datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah
kami dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.’ Allah berfirman:
‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa
yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya
Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan
kepada seorang pun di antara umat manusia.’” (QS. al-Maidah: 112-115)
Barangkali
kita terheran-heran ketika memperhatikan perkataan Hawariyin, “wahai
Isa bin Maryam, apakah Tuhanmu mampu?” Mungkin pertama-tama yang
terlintas dalam pikiran kita berkenaan dalam ayat tersebut adalah,
keraguan Hawariyin terhadap kekuatan atau kekuasaan Allah SWT. Bagaimana
hal itu mampu mereka laku-kan sedangkan mereka adalah murid-murid Isa
yang beriman dan berserah diri kepada Allah SWT? Berkaitan dengan tafsir
ayat tersebut, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan,
bahwa pertanyaan mereka ‘apakah Tuhanmu mampu?’ Yakni, berarti apakah
Tuhanmu bisa? Kemudian mereka mencarikan alasan yang membenarkan
perkataan Hawariyin itu dengan mengatakan bahwa pertanyaan itu
dilontarkan saat mereka baru saja mengikuti Isa, sebelum mereka banyak
mengetahui Allah SWT. Oleh karena itu, Isa berkata dalam jawabannya
terhadap pertanyaan mereka, bertakwalah kepada Allah SWT jika kamu
benar-benar orang mukmin. Yakni, janganlah kalian meragukan kekuasaan
atau kekuatan Allah SWT.
Qurthubi
menampik tafsir ini. Hawariyin adalah para penolong Allah SWT, sesuai
dengan nas Al-Qur’an dan tentu tidak boleh bagi penolong Allah SWT untuk
tidak mengetahui kekuatan-Nya, apalagi meragukan kekuasaan-Nya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa perkataan tersebut dikeluarkan
orang-orang yang bersama Hawariyin yang berasal dari Bani Israil dan
tidak seorang pun dari Hawariyin yang mengatakan demikian kecuali mereka
hanya sekedar menukil perkataan tersebut. Ada pendapat lain lagi yang
mengatakan bahwa ayat tersebut tidak dibaca ‘hal yastathi’ rabbuka‘
tetapi dibaca ‘hal tastathi’ rabbaka’ sebagaimana bacaan Aisyah dan
sebagaimana dibaca oleh Nabi. Maknanya, “apakah engkau mampu
menghadirkan kekuatan Tuhanmu terhadap apa yang engkau minta.” Ada
pendapat yang lain mengatakan ia dibaca ‘hal tastathi’ rabbaka’, yakni
“apakah engkau mampu untuk berdoa kepada Tuhanmu atau meminta-Nya.”
Sebagian
kaum sufi berpendapat bahwa kaum Hawariyin bukan tidak mengetahui
kekuasaan Allah SWT tetapi pertanyaan itu justru bersumber dari cinta
kepada Allah SWT dan keinginan menyaksikan kekuasaan Allah SWT. Sikap
mereka ini menyerupai dengan perbedaan tingkatan sikap Nabi Ibrahim as
ketika beliau mengatakan:
“Ya
Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang-orang mati?’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya?’ Ibrahim
menjawab: ‘Saya telah percaya, tetapi agar bertambah mantap hatiku.’”
(QS. al-Baqarah: 260)
Oleh
karena itu, kaum Hawariyin berkata: “Dan hati kami menjadi mantap,”
sebagaimana Nabi Ibrahim berkata: “Agar bertambah mantap hatiku.” Inilah
tafsir yang membuat kita puas dan membuat hati kita tenang. Nabi Isa
menjawab pertanyaan mereka:‘Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul
kamu orang yang beriman.’ Yakni, hati-hatilah kalian dengan banyak
bertanya dan menguji Allah SWT karena kalian tidak mengetahui apa yang
boleh kalian minta untuk didatangkan bukti-bukti kekuasaan Allah SWT.
Perkataan Nabi Isa, jika kalian benar-benar beriman terfokus kepada apa
yang dibawanya yang berupa mukjizat-mukjizat atau tanda-tanda kebesaran
Allah SWT. Nabi Isa bermaksud untuk mengatakan, sesungguhnya apa yang
telah aku bawa dari mukjizat-mukjizat bagi kalian seharusnya sudah cukup
membuat hati kalian mantap. “Mereka berkata: ‘Kami ingin memakan
hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa
kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang
menyaksikan hidangan itu.’”
Kaum
Hawariyin menjelaskan kepada Isa sebab pertanyaan mereka ketika beliau
melarangnya. Jika Nabi Isa keluar, maka beliau diikuti lima ribu orang
atau lebih. Sebagian mereka dari kalangan Hawariyin dan sebagian yang
lain campuran di antara pengikutnya dan musuhnya. Dikatakan bahwa mereka
berpuasa dan mereka tidak mempunyai makanan, lalu para pengikut berkata
kepada kaum Hawariyin, “Tanyalah kepada Isa apakah ia mampu berdoa
kepada Tuhannya sehingga diturunkan kepada kita makanan dari langit.”
Kemudian kaum Hawariyin pergi dengan membawa surat kaum itu kepada Isa.
Ketika Isa meminta mereka untuk merasa cukup dengan mukjizat-mukjizat
sebelumnya, mereka kembali melontarkan kebenaran permintaan mereka:
‘Kami ingin memakan hidangan itu. Mereka adalah orang-orang yang lapar
sementara mereka tidak mempunyai makanan. Dan supaya tenteram hati kami.
Hati
kaum Hawariyin menjadi tenang seperti tenangnya hati Ibrahim. Dan para
pengikut pun merasa hatinya tenang dan mengakui bahwa Isa adalah Nabi
yang diutus untuk mereka. Dan hati musuh juga menjadi tenang karena
mereka menyaksikan kebatilan mereka sehingga pilihan mereka untuk tidak
mengikuti Isa berakibat pada suatu saat mereka akan dimintai pertanggung
jawaban.
“Dan
supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami. Yakni
kami mengetahui bahwa engkau utusan Allah. Dan kami menjadi orang-orang
yang menyaksikan hidangan itu. Yakni, kami menyaksikan keesaan Allah dan
risalah dan kenabianmu. Dan bagi orang lain yang tidak menyahsikannya,
maka kami akan menceritakan kepada mereka peristiwa yang terjadi.”
Isa
putra Maryam berdoa: ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami
suatu hidangan dari langit (yang hari turimnya) akan menjadi hari raya
bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kavii dan yang datang
sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami
dan Engkaulah Pembeti rezeki Yang Paling Utama.’
Ketika
kaum Hawariyin bertanya kepada Isa bin Maram agar diturunkan makanan
dari langit, maka Nabi Isa berdiri dan meletakkan pakaian dari kulit wol
kemudian beliau melangkahkan kakinya dan meletakkan tangan kanannya di
atas tangan kirinya, lalu beliau menundukkan kepalanya dalam keadaan
khusuk dan tunduk kepada Allab SWT. Kemudian beliau membuka matanya dan
menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya bahkan mencapai
dadanya dan berkata: ‘Ya Tuhan kami, turunhanlah kiranya kepada kami
suatu hidangan dari langit… Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan
menurunkan hidangan itu kepadamu.
Lalu
turunlah makanan besar dari celah dua awan: satu awan di atasnya satu
awan di bawahnya. Saat itu manusia melihatnya. Nabi Isa berkata, “Ya
Allah jadikanlah makanan ini sebagai rahmat dan jangan menjadi fitnah.”
Lalu turunlah di depan Nabi Isa sapu tangan yang menutupinya kemudian
Nabi Isa tersungkur dalam keadaan sujud yang diikuti oleh kaum
Hawariyin. Mereka mendapati suatu bau yang harum yang belum pernah
mereka temukan sebelumnya.
Nabi
Isa berkata, “Siapakah di antara kalian yang paling ikhlas dan paling
percaya kepada Allah SWT agar ia membuka makanan itu sehingga kita bisa
makan darinya serta berzikir kepada Allah SWT atasnya serta bersyukur
kepadanya.” Kaum Hawariyin berkata:
“Wahai Ruhullah sesungguhnya engkau
lebih berhak daripada kami dalam hal itu.”, maka Nabi Isa berdiri lalu
beliau mengambil wudhu dan salat. Kemudian beliau banyak berdoa sambil
duduk di sisi makanan itu dan membukanya. Tiba-tiba di atas makanan itu
terdapat ikan yang lezat yang tidak ada durinya. Nabi Isa ditanya:
“Wahai Ruhullah, apakah ini makanan dari dunia atau dari surga?” Nabi
Isa menjawab: “Bukankah Tuhan kalian melarang kalian untuk bertanya
pertanyaan semacam ini. Ia turun dari langit dan tidak ada makanan
sepertinya di dunia dan ia bukan berasal dari surga tetapi ia adalah
sesuatu yang Allah SWT ciptakan dengan kekuasaan yang luar biasa di mana
Dia cukup mengatakan “jadilah, maka jadilah.”
Para
mufasir berbeda pendapat sekitar bentuk makanan yang diturunkan kepada
Isa, apakah itu ikan atau daging? Apakah roti atau buah-buahan? Kami
memandang bahwa pembahasan-pembahasan ini kurang penting. Sesuatu yang
paling penting yang perlu kita perhatikan adalah apa yang dikatakan oleh
Nabi Isa, Sesungguhnya ia diciptakan oleh Allah SWT dengan kekuasaan
yang mengagumkan di mana Dia cukup mengatakan “Jadilah, maka jadilah
ia.”
Inilah
hakikat makanan tersebut. Ia merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT
yaitu suatu tanda yang Allah SWT mengancam bagi siapa yang menentangnya
Dia akan menyiksanya dengan azab yang belum pernah diterima oleh
seseorang pun di dunia. Para ulama berbeda pendapat apakah makanan
tersebut memang diturunkan atau tidak, tetapi menurut pendapat mayoritas
dan ini yang benar makanan tersebut memang diturunkan, sesuai dengan
firman Allah SWT: “Aku akan menurunkan hidangan itu bagimu. “
Dikatakan
bahwa ribuan pengikut Nabi Isa memakannya dan makanan tersebut tidak
habis. Setiap orang yang buta ia sembuh dari butanya dan setiap orang
yang belang ia sembuh dari belangnya akibat memakan hidangan itu.
Alhasil, setelah menyantap makananitu, orang yang sakit sembuh dari
penyakitnya. Maka hari turunnya makan itu dijadikan hari raya dari hari
raya-hari raya kaum Hawariyin dan para pengikut Nabi Isa. Kemudian
berita dan peristiwa turunnya makanan itu mulai hilang dan mulai
dilupakan sehingga kita tidak menemukan beritanya hari ini di
Injil-Injil yang mereka akui. Setelah peristiwa makanan yang Allah SWT
ceritakan dalam surah al-Maidah, Allah SWT menunjukkan kepada kita sikap
lain dari Nabi Isa bin Maryam. Allah SWT berkata setelah menceritakan
kepada kita tentang turunnya mukjizat makanan dari langit:
“Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan
selain Allah!’ Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang
ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang
gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada rnereka kecuali apa yang Engkau
tiepadaku (mengatakan)nya yaitu: ‘Sembahlah Allah, Tuhanku, dan
Tuhanmu,’ dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di
antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang
mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala
sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah
hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman: ‘lni
adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran
mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-selamanya; Allah ridha terhadap mereka
dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling
besar.’ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. ” (QS. al-Maidah:
116-120)
Dengan
ayat-ayat tersebut, Al-Qur’an menutup surah al-Maidah. Demikianlah
konteks Al-Qur’an berpindah secara mengejutkan dari turannya makanan
kepada sikap atau dialog antara Allah SWT dan Isa bin Maryam pada hari
kiamat. Allah SWT bertanya pada hari kiamat: ‘Hai Isa putra Maryam,
adakah kamu mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua
orang tuhan selain Allah?’
Para
ahli ilmu sepakat bahwa pertanyaan tersebut bukan bersifat pertanyaan
mumi meskipun tampak dalam bentuk pertanyaan karena Allah SWT mengetahui
apa yang dikatakan oleh Isa. Tentu yang dimaksud dengan pertanyaan itu
adalah sesuatu yang lain. Ada yang mengatakan bahwa Allah SWT bermaksud
memberitahu Isa bahwa kaumnya telah mengubah ajarannya sepeninggalnya.
Dan mereka telah mendapatkan fitnah. Ada lagi yang mengatakan bahwa
Allah SWT bermaksud dari pertanyaan itu untuk mencela orang-orang yang
mengubah akidah Nabi Isa setelah beliau tidak ada. Kami kira pertanyaan
tersebut memuat dua makna dan mencakup makna yang lain.
Allah
SWT ingin menyingkap dan memberitahu manusia dalam Kitab-Nya yang
terakhir bahwa Nabi Isa terlepas dari berbagai macam tuduhan, dan apa
saja yang dilakukan kaumnya sepeninggalnya. Konteks AI-Qur’an
menunjukkan tentang peristiwa gaib yang belum terjadi meskipun akan
terjadi pada hari kiamat. Oleh karena itu, Al-Qur’an menyampaikannya
dalam bentuk fi’il madhi (kata kerja bentuk lampau). Al-Qur’an
menyampaikan berita gaib ini kepada penduduk dunia agar mereka
mengetahui hakikat Isa bin Maryam.
Allah
SWT bertanya kepadanya dan Isa bin Maryam menjawab. Sebagai nabi besar,
Isa tidak menjawab kecuali setelah ia mengatakan: ‘Maha Suci Engkau ya
Allah.’ Sebelum menjawab, Isa memulai dengan tasbih dan menyucikan Allah
SWT. Nabi Isa menampakkan kepatuhan dan ketundukan kepada kemuliaan
Allah SWT dan rasa takut terhadap azab-Nya. Qurthubi menyampaikan dalam
tafsirnya:
“Ketika
Allah SWT berkata kepada Isa, apakah engkau berkata kepada manusia
jadikanlah aku dan ibuku tuhan selain Allah, maka Isa tampak gemetar
terhadap perkataan itu sehingga ia mendengar rintihan dari
tulang-tulangnya di dalam jasadnya lalu ia berkata:‘Maha Suci Engkau,
tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya).
Tidak mungkin aku memutuskan sesuatu yang tidak aku miliki, yang diriku
tidak dapat melakukannya. Aku hanya seorang hamba, bukan seorang yang
disembah: Jika aku pernah mengatakannya maha tentulah Enghau telah
mengetahuinya.
Demikianlah
Nabi Isa menyampaikan jawabannya kepada Allah SWT dan ia mengembalikan
sesuatu kepada Allah SWT. Dan Allah SWT Maha Mengetahui terhadap apa
yang dikatakannya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku
tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Yakni, Engkau mengetahui
apa yang aku sembunyikan sedangkan aku tidak mengetahui apa yang engkau
sembunyikan. Engkau mengetahui rahasiaku dan apa yang terlintas dalam
hatiku dan aku tidak mengetahui apa yang Engkau sembunyikan dari ilmu
gaib-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Hanya
Engkau yang tahu terhadap hal-hal yang gaib. Hanya Engkau yang tahu
terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah mereka setelah Engkau angkat
aku dari bumi:‘Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa
yang Engkau kepadaku (mengatakan)nya yaitu: ‘Sembahlah Allah, Tuhanku,
dan Tuhanmu.’
Demikianlah
kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Isa bin Maryam. Dia hanya
mengajak manusia untuk hanya menyembah Allah SWT dan tidak
menyekutukan-Nya: Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku
berada di antara mereka.
Sesungguhnya
Engkau mengawasi mereka saat aku tinggal di tengah-tengah mereka dan
mengajak mereka ke jalan yang benar. Maka setelah Engkau wafatkan aku,
Engkaulah yang mengawasi mereka. Al-Wafat dalam Kitab Allah mempunyai
tiga bentuk: Pertama, wafat dalam pengertian kematian, sebagaimana
firman Allah SWT:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.” (QS. az-Zumar: 42)
Yakni ketika tercabutnya ajal. Kedua, bahwa wafat adalah tidur, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari. ” (QS. al-An’am: 60)
Yakni yang menidurkan kalian. Ketiga, wafat berarti pengangkatan, sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai Isa, sesungguhnya Aku yang menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku. ” (QS. Ali ‘Imran: 55)
Demikianlah
Isa terbebas dari apa yang mereka katakan dan apa yang mereka nisbatkan
kepadanya. Isa mengumumkan bahwa dakwahnya tidak lebih dari sekadar
ajakan untuk bertahuid dan tidak keluar dari kerangka Islam yang diakui
oleh pengikutnya. Kemudian Isa kembali menyampaikan pembicaraannya dan
meminta belas kasihan kepada Allah SWT: Jika Engkau rnenyiksa mereka,
makasesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Tidak seorang pun dari
makhluk yang mempunyai kekuasaan di atas-Mu dan tidak ada Pencipta
selain-Mu. Maha Suci Engkau dan tiada sekutu bagi-Mu dalam kerajaan dan
kekuasaan. Pada akhirnya, mereka adalah hamba-Mu dan seorang hamba tidak
memiliki apa-apa di hadapan tuannya kecuali kepatuhan: Dan jika Engkau
mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.’
Isa
tidak mengatakan jika Engkau mengampuni mereka, maka Engkau Maha
Pengampun dan Maha Pengasih. Jadi, jawaban Isa terfokus pada penyerahan
diri dan kepatuhan serta tunduk kepada kemuliaan Allah SWT dan
kebesaran-Nya. Para pengikut Nabi Isa adalah hamba-hamba Allah SWT yang
patuh. Jika Allah SWT berkehendak, maka Dia akan menyiksa mereka sesuai
dengan siksaan yang layak mereka terima, dan jika Dia berkehendak, maka
Dia akan mengampuni mereka karena Dia mengetahui karena mereka memang
layak untuk mendapatkan ampunan. Dengan penyerahan yang mutlak ini, Isa
menyampaikan jawaban atas pertanyaan Allah SWT dan beliau berlepas diri
dari apa yang dikatakan oleh kaumnya sepeninggalnya. Isa
menyampaikan—pada awal pembicaraannya—bahwa hanya Allah SWT yang patut
disembah, dan pada akhir pembicaraannya Isa menyampaikan penyerahan
dirinya kepada Allah SWT. Allah berfirman: ‘Ini adalah suatu hari yang
bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.
Allah
SWT memuji ketulusan Isa, dan karena dialog tersebut terjadi pada hari
kiamat, Allah SWT berfirman: “Hari ini adalah hari kiamat di mana
orang-orang yang benar akan dapat mengambil manfaat dari kebenaran
mereka di dunia. Kebenaran mereka di sana akan mereka temukan balasannya
yang berupa rahmat di sini. “Bagi mereka surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-selamanya; Allah
ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. “
Demikianlah
balasan orang-orang yang benar, surga. Dan ada balasan yang lebih baik
dari surga, yaitu kepuasan (ridha) seorang hamba terhadap Allah SWT dan
keridhaan Allah SWT terhadap hamba. Pengertian kepuasaan seorang hamba
adalah kegembiraannya terhadap penyembahan kepada Allah SWT sedangkan
pengertian keridhaan Allah SWT terhadap hamba-Nya adalah rahmat yang
diberikan-Nya kepada mereka: Itulah keberuntungan yang paling besar.’
Setelah itu Allah SWT, memberitahukan hakikat Isa dan seluruh nabi-Nya:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Allah SWT adalah
Penguasa satu-satunya dan Dia Pencipta satu-satunya. Selain-Nya adalah
hamba.
Isa
terus melangsungkan dakwahnya sehingga kejahatan dan keburukan
mengetahui bahwa singgasana mereka terancam hancur. Lalu pasukan
keburukan bergerak untuk menangkapnya. Orang-orang Yahudi menyakitinya
dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan. Isa dikatakan sebagai
penyihir dan sebagai orang yang mengubah syariat dan mereka menisbatkan
kekuatannya yang luar biasa kepada kekuatan setan. Ketika mereka tidak
lagi memiliki tipu daya yang dapat melumpuhkan Nabi Isa dan mereka
melihat orang-orang yang lemah dan orang-orang fakir berkumpul di
sekitarnya, maka mereka mulai membikin suatu, makar. Mereka mempengaruhi
orang-orang Romawi.
Mula-mula
pemerintahan Romawi tidak turut campur karena menganggap bahwa
perselisihan-perselisihan antara orang-orang Yahudi adalah perselisihan
yang terjadi demi memperebutkan kepentingan sesama mereka. Lalu
diadakanlah majelis Sanhadurim (yaitu majelis undang-undang tertinggi
dari kalangan Yahudi). Mereka berkumpul untuk membuat persekongkolan
demi menyingkirkan Isa. Persekongkolan itu mengambil bentuk yang baru.
Ketika
orang-orang Yahudi tidak mampu memerangi Nabi Isa, mereka berpikir
untuk membunuhnya. Mulailah para ketua pendeta Yahudi bermusyawarah
untuk membuat suatu kesimpulan tentang cara yang mereka lakukan untuk
menangkap Nabi Isa yang tidak menirnbulkan kegaduhan di tengah-tengah
masyarakat.
Ketika
para kepala Yahudi bermusyarah, maka salah seorang dari murid al-Masih
yang dua belas pergi kepada mereka, yaitu Yahuda al-Iskhriyutha. Ia
berkata kepada mereka, “Apa yang kalian berikan jika aku berhasil
menyerahkannya kepada kalian.”
“Meja
penghianatan telah digelar di antara mereka dan dimulailah perundingan.
Orang-orang Yahudi berusaha mencari titik temu dan mereka sepakat untuk
memberinya tiga puluh lempeng dari perak. Ini adalah harga yang biasa
mereka lakukan untuk membeli seorang budak sesuai dengan syariat
Yahudi.” (penjelasan Injil Mata)
Selesailah
konspirasi yang menetapkan untuk menangkap al-Masih dan kemudian
membunuhnya. Dikatakan bahwa kepala pendeta Yahudi merobek-robek bajunya
secara dramatis di suatu pertemuan agama dan ia berteriak, “sungguh Isa
telah kafir.” Pero bekan baju dalam tradisi orang-orang Yahudi
dilakukan ketika mereka mendengar atau melihat sesuatu yang mengandung
penghinaan terhadap Allah. Para pendeta Yahudi tidak memiliki kekuasaan
untuk menetapkan hukum bunuh pada saat itu. Semua itu dilakukan oleh
kekuasaan penguasa Romawai. Tetapi tampaknya mereka berhasil meyakinkan
kekuasaan Romawi bahwa Isa telah membuat rencana untuk melengserkan
kekuasaan Romawi atau mereka berhasil meyakinkan penguasa Romawi bahwa
masalah yang mereka hadapi murni berkaitan dengan tradisi mereka dan
keyakinan mereka. Kemudian mereka menyarankan agar penguasa tidak turut
campur atas apa yang mereka tetapkan. Demikianlah konspirasi itu telah
ditetapkan dan telah diputuskan bahwa Isa harus ditangkap dan kemudian
disalib.
Empat
Injil yang diakui oleh kalangan Masehi saat ini membicarakan tentang
proses pembunuhan Isa di mana beliau disalib kemudian beliau bangkit
dari kematiannya dan naik ke langit. Semua Injil ini sepakat tentang
proses pengyaliban Isa dan kematiannya, sebagaimana mereka sepakat
tentang tabiat Isa yang mengandung ketuhanan yang bercampur dengan
tabiatnya sebagai manusia. Kami akan menyampaikan keyakinan orang-orang
Masehi berkaitan dengan Isa sebagaimana diyakini oleh mayoritas kaum
Nasrani saat ini, kemudian kami akan mengemukakan keyakinan Islam
tentang Isa sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur’an al-Karim dan
disampaikan oleh para ulama dan disebutkan dalam hadis. Setelah itu,
kita akan membicarakan hal-hal yang perlu dibicarakan berkaitan hubungan
antara kaum Muslim dan kaum Masehi serta kaitannya dengan akidah
mereka.
Injil
Mata mengatakan, “Isa ditangkap dan majelis Sanhadirum memutuskan bahwa
ia harus dibunuh. Kemudian para anggota mejelis itu dari kepala-kepala
para pendeta dan para tokoh mereka menghinanya dan mengejeknya serta
berbuat aniaya terhadapnya bahkan mereka meludahi wajahnya dan
menempelengnya. Sambil mengejek mereka berkata, “beritahukanlah wahai
al-Masih siapa yang memukulrnu.” Setelah itu al-Masih ditangkap dan ia
ditetapkan untuk dibunuh.
Adalah
sudah menjadi tradisi di kalangan orang-orang Romawi untuk mencambuk
orang yang ditetapkan untuk dibunuh sebelum pelaksaan hukum tersebut.
Oleh karena itu, para penguasa Romawi menetapkan agar al-Masih dicambuk
terlebih dahulu. Sedangkan syariat Musa menetapkan agar cambukan itu
tidak melebihi empat puluh kali, namun orang-orang Romawi tidak berhenti
pada batasan ini bahkan mereka terus mencambuk korban dengan cambukan
yang kejam dan terus-menerus sehingga punggung yang bersangkutan hampir
saja patah dan napasnya nyaris tinggal sedikit. Setelah itu, mereka
mulai melaksanakan hukum bunuh kepadanya. Demikianlah yang dilakukan
oleh tentara terhadap penyelamat kita. (Injil Mata 26)
Selesailah
proses pecambukan, lalu penguasa Romawi menyerahkan Isa kepada tentara
agar mereka menyalibnya. Kemudian para tentara membuat sesuatu hal yang
bermaksud untuk menghibur. Mereka mencabut pakaian Isa yang dilumuri
dengan darah yang ada luka di tubuhnya setelah proses pencabukan, lalu
mereka memakaikan pakaian merah dengan maksud untuk mengejeknya. Para
raja biasanya memakai pakaian merah. Mereka terus menghinanya. Mereka
memakaikannya mahkota dari duri dan meletakkannya di atas kepalanya.
(Injil Mata 26)
Akhirnya,
mereka sampai pada suatu tempat yang bernama Jaljatsah, yaitu suatu
tempat di luar pagar Ursyilim. Tradisi Yahudi menetapkan untuk memberi
satu gelas khamer yang bercampur dengan minyak wangi bagi orang yang
ditetapkan untuk dihukum mati sebelum pelaksanaan hukum. Ini dimaksudkan
sebagai alat pembius untuk meringankan penderitaannya. Tetapi para
tentara menentang tradisi ini dan mereka memberi al-Masih satu gelas
dari cuka yang bercampur dengan sesuatu yang pahit.” (Injil Mata 26)
Teks
Injil mata mengatakan (cetakan tahun 1972) pada pasal kedua puluh
tujuh: “Sehingga mereka sampai ke suatu tempat yang bernama Jaljatsah
lalu mereka memberinya minuman keras yang bercampur dengan empedu agar
ia meminumnya. Ketika ia merasakannya, ia enggan untuk meminumnya.
Kemudian mereka menyalibnya. Kemudian mereka duduk di sana menjaganya
dan meletakkan di atas kepalanya suatu tuduhan yang tertulis: Ini adalah
Yasu’, penguasa Yahudi. Mereka benar-benar menyalibnya bersama Yasim.
Salah seorang dari keduanya di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah
kirinya.
Lalu orang-orang yang lewat di tempat itu mencelanya dan
berkata, “wahai yang menghancurkan tempat sembahan dan yang membangunnya
pada tiga hari, selamatkanlah dirimu dan jika engkau adalah anak Allah,
maka turunlah dari tempat penyaliban itu.”
Demikianlah
sebagian riwayat kaum Masehi tentang proses penyalipan serta penafsiran
mereka berkaitan dengannya. Kami telah menukilnya tanpa memperhatikan
tentang catatan yang terdapat dalam Injil Mata yang terbaru, yaitu ia
merupakan catatan yang paling baik dalam bentuknya yang terkumpul dari
ulama-ulama mereka dan tokoh-tokoh agama Masehi sehingga ia lebih mudah
untuk dipahami dan lebih sederhana. Kami telah mengemukakan sebagiannya
kepada Anda dalam halaman-halaman ini.
Sementara
itu, dalam akidah Islam disebutkan suatu riwayat yang berbeda dengan
riwayat yang ada dalam Injil-Injil yang terdapat sekarang, baik yang
berhubungan dengan kehidupan akhir yang dialami oleh Isa maupun tabiat
Isa yang merupakan sumber perselisihan setelah pengangkatannya.
Al-Qur’an al-Karim menceritakan bahwa Allah SWT tidak menghendaki Bani
Israil untuk membunuh Isa atau menyalibnya tetapi Allah SWT
menyelamatkannya dari kekufuran mereka lalu mengangkatnya di sisi-Nya.
Mereka tidak berhasil membunuhnya dan tidak berhasil menyalibnya tetapi
ia diserupakan seperti orang-orang di antara mereka. Allah SWT
berfirman:
“Dan
karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa
putra Maryam, Rasul Allah,’ padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak
pula menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh ialah arang yang diserupakan
dengan Isa bagi meeha. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham
tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang
dibunuh itu. Mereka tidah mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh
itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak pula yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah
telah mengangkat Isa kepadanya.” (QS. an-Nisa’: 157-158)
Dan Allah SWT juga berflrman:
“(Ingatlah),
ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan
karnu pada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan
kamu dari orang-orang yang kafir. ” (QS. Ali ‘Imran: 55)
Para
ulama-ulama Islam sepakat atas hal itu dan mereka berselisih pendapat
tentang cara beragumentasi terhadap apa yang mereka yakini sebagai
kebenaran. Sebagian mereka meyakini nas-nas Al-Qur’an saja yang menyebut
tentang Isa al-Masih dan mereka tidak mendukungnya atau memperkuatnya
dengan kitab-kitab lain selain Al-Qur’an. Kedua metode tersebut memiliki
titik kekuatan tersendiri. Orang yang berpegangan dengan pendapat yang
pertama mengatakan bahwa Nabi melarang untuk membahas kitab-kitab
pegangan kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Bagi kaum itu agama mereka dan
bagi kita agama kita dan hanya Allah SWT yang akan memutuskan segala
perselisihan di antara kita pada hari kiamat.
Sedangkan
orang-orang yang berpegangan dengan cara yang kedua mengatakan bahwa
larangan Nabi tersebut terjadi pada permulaan masa Islam di mana kaum
Muslim sangat dekat dengan masa jahiliah. Nabi memerintahkan mereka agar
tidak disibukkan dengan kitab-kitab lain selain kitab mereka, yakni
Al-Qur’an. Yang demikian ini dimaksudkan agar mereka memiliki akidah
yang kuat dan keyakinan mereka benar-benar tertanam dalam diri mereka,
Tetapi ilmu dan pandangan ilmiah menetapkan bahwa seorang yang alim
harus banyak menggali kitab-kitab kuno dalam rangka mengetahui kebenaran
dan jika ia mendapati sesuatu yang sesuai dengan apa yang didapatinya
dengan kebenaran, maka hatinya akan lebih merasa tenang dan damai.
Berkaitan dengan kelompok yang pertama yang merasa cukup dengan
Al-Qur’an, kita tidak menemukan perincian-perincian yang mendalam
berkenaan dengan usaha penangkapan Isa, bagaimana proses pengangkatannya
ke langit, di mana Isa diserupakan dengan salah seorang di antara
mereka, bagaimana dia diserupakan dengan salah seorang di antara mereka.
Allah SWT telah menyerupakannya dengan salah seorang di antara mereka
sedangkan Nabi Isa diangkat ke langit. Demikianlah penjelasan singkat
mereka, tidak ada penambahan lagi. Sedangkan kelompok yang kedua, mereka
melontarkan kisah secara lengkap. Mereka mengatakan bahwa Allah SWT
menyerupakan Isa dengan Yahuda. Yahuda ini adalah Yahuda al-Askhariyutha
yang menurut Injil ia menjualnya kepada musuh-musuhnya dan menunjukkan
kepada mereka tentang keberadaannya. Ia adalah seorang muridnya yang
terpilih. Demikian ini sesuai dengan Injil Barnabas di mana disebutkan
di dalamnya: “Ketika para tentara mendekat bersama Yahuda di tempat yang
di situ terdapat Yasu’, maka Yasu’ mendengar kedatangan segerombolan
orang yang menuju tempatnya. Oleh karena itu, ia segera pergi ke rumah
dalam keadaan takut. Di dalam rumah itu terdapat sebelas orang yang
tidur. Ketika Allah melihat bahaya akan mengancam hamba-Nya, maka Dia
merintahkan Jibril, Mikail, dan Rafail (Israfil), serta Idril (Izrail)
yang mereka semua adalah para utusan-Nya untuk mengambil Yasu’ dari
dunia. Lalu datanglah malaikat-malaikat yang suci di mana mereka
mengambil Yasu’ dari pintu yang dekat dengan arah selatan. Mereka
membawanya dan meletakkannyadi langit yang ketiga dengan disertai para
malaikat yang selalu bertasbih kepada Allah selama-lamanya. Yahuda masuk
secara paksa ke kamar yang di situlah Yasu’ diangkat ke langit.
Saat
itu murid-murid sedang tidur semuanya, lalu Allah mendatangkan keajaiban
yang luar biasa di mana Yahuda berubah cara berbicaranya dan juga
wajahnya. Ia sangat mirip sekali dengan Yasu’ sehingga kami mengiranya
Yasu’. Adapun ia (Yahuda) setelah membangunkan kami, ia mencari-cari di
mana si guru berada. Oleh karena itu, kami merasa heran dan kami
menjawab, “bukankah engkau wahai tuanku guru kami, apakah sekarang
engkau telah melupakan kami?” Demikianlah kisah yang terdapat dalam
Injil Barnabas. Allah SWT berfirman:
“Al-Masih
putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang Sesungguhnya telah berlalu
sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar,
kedua-duanya biasa memakan makanan.” (QS. al-Maidah: 75)
Para
ulama berkata, “Al-Masih dinamakan al-Masih karena ia mengusap bumi dan
membersihkannya serta usahanya untuk menyelamatkan agama dari fitnah di
zaman itu karena saking hebatnya kebohongan orang-orang Yahudi
kepadanya dan bagaimana usaha mereka untuk menciptakan dusta padanya dan
kepada ibunya as.” Banyak ulama yang meriwayatkan tentang kesucian
spiritual dari Nabi Isa. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa
beliau menceritakan tentang al-Masih sebagai berikut: “Isa melihat
seorang lelaki yang mencuri lalu ia berkata: “Wahai si fulan apakah
engkau mencuri?” Orang itu berkata: “Tidak, demi Allah aku tidak
mencuri,” Isa berkata: “Aku beriman kepada Allah SWT dan pengelihatanku
telah berbohong.” Ini menunjukkan kesucian ruhani Isa di mana ia lebih
memilih sumpah orang itu atas apa yang disaksikannya. Ia membayangkan
bahwa orang tersebut tidak akan bersumpah dan membawa nama Allah SWT
yang Maha Besar lalu ia berdusta sehingga ia menerima pernyataannya dan
ia kembali kepada dirinya sendiri sambil berkata: “Aku beriman kepada
Allah SWT, yakni aku mempercayaimu dan mataku telah berbohong karena
engkau telah bersumpah.” Ada riwayat lagi yang mengatakan bahwa suatu
hari Nabi Isa berjalan bersama sahabatnya dan mereka melewati bangkai
anjing yang busuk baunya, lalu sahabat-sahabat Isa sangat terpukul dan
sangat menderita dengan bau anjing itu. Melihat sikap mereka, Isa
berkata: “Lihatlah betapa putih giginya.”
Isa
ingin mengajari manusia bagaimana mereka menghadapi keburukan di mana
Nabi Isa menekankan agar mereka lebih melihat kepada keindahan dan
kebaikan. Dakwah Nabi Nabi Isa merupakan puncak dari ketinggian ruhani
dan idealisme yang mengagumkan di mana Beliau lebih menekankan kebaikan
daripada keburukan. Rasulullah berkata: “Semua para nabi adalah saudara,
agama mereka satu sedangkan mereka dilahirkan dari berbagai macam ibu
dan aku adalah manusia yang utama begitu juga Isa bin Maryam di mana
tidak ada nabi setelahku dan sesudahnya.” Dalam berbagai riwayat
disebutkan bahwa Nabi Isa akan turun pada akhir zaman. Islam sangat
memberikan penghormatan kepada Isa yang sesuai dengan kedudukannya
sebagai salah satu nabi ulul azmiyang besar. Islam menamakannya
Rasulullah dan Kalimatullah yang telah diberikan kepada Maryam. Allah
SWT berfirman:
“Wahai
ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah
hamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya
al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang terjadi
dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya
dan janganlah kamu mengatakan: ‘(Tuhan itu) tiga.’ Berhentilah dari
ucapan itu. (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha
Esa, Maha Suci dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi
adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah untuk menjadi Pemelihara. Al-Masih
sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula
enggan) malaikat malaikat yang terdekat (kepada Alah). Barangsiapa yang
enggan dari menyernbah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan
mengumpulkan mereka semua kepadanya. Adapun orang-orang yang beriman dan
berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan
menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang
enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan
siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka,
pelindung dan penolong selain dari Allah. ” (QS. an-Nisa’: 171- 173)
Ibnu
Katsir berkata dalam Qhisasul Anbiya’: Para pengikut Nabi Isa
berselisih pendapat setelah Nabi Isa diangkat ke langit. Sebagian mereka
mengatakan, di tengah-tengah kita ada hamba Allah SWT dan rasul-Nya
(Ariyus). Sebagian lagi mengatakan, dia adalah Allah. Yang lain lagi
mengatakan, dia adalah anak Allah. Mereka berselisih pendapat tentang
Injil yang menyebutkan berbagai kebo hongan di mana terdapat di dalamnya
penambahan, pengurangan, dan pergantian. Al-Qur’an al-Karim telah
membahas persoalan ketuhanan. Ia menjelaskan bahwa Allah SWT Maha Suci
dari segala sekutu dan anak dan segala hal yang menyerupai-Nya serta
segala bentuk ingkarnasi, kejauhan, kedekatan dan pencapaian pandangan
mata. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah:
“Dia-lah Allah, YangMahaEsa.’Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepadanya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan,
dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. ” (QS. al-Ikhlash:
1-4)
Dan
tentang Isa as Allah berfirman: “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di
sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam
dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: ‘Jadilah’ (seorang
manusia), maka jadilah ia.” (QS. Ali ‘Imran: 59)
“Mereka
(orang-orang kafir) berkata: Allah mempunyai anah.’ Maha Suci Allah,
bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua
tunduk kepadanya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia
berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan
kepadanya: ‘Jadilah’, lalujadilah ia.” (QS. al-Baqarah: 116-117)
“Orang-orang
Yahudi berkata: ‘Uzair itu putra Allah’ dan orang-orang Nasrani
berhata: Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu.
Mereka dilaknat oleh Allah; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS.
at-Taubah: 30)
Nas
tersebut mengisyaratkan akidah orang-orang Mesir dan orang-orang
seperti mereka dari umat-umat yang terdahulu di mana akidah mereka
terfokus pada keyakinan penyaliban Isa, tentang tebusan dan kebangkitan
Tuhan yang disembelih serta penentangannya terhadap para pengikutnya
setelah kematiannya.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah itu ialah
al-Masih putra Maryam.‘ Katakanlah: ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat
menghalang-halangi kehendah Allah, jika Dia hendak membinasakan
al-Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang
berada di bumi semuanya?’ Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi
dan apayang ada di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang
dihehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.
al-Maidah: 17)
“Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: Allah salah seorang dari yang
tiga,’ padahal sekali-kali tidak ada selain dari Tuhan YangEsa.” (QS.
al-Maidah: 73)
Demikianlah
Al-Qur’an al-Karim menyebutkan sikap berbagai aliran yang saling
berlawanan yang tumbuh setelah pengangkatan al-Masih. Al-Qur’an
menjelaskan bahwa al-Masih adalah hamba Allah SWT dan seorang rasul yang
diutus kepada Bani Israil. Kata hamba dan rasul adalah kata yang sangat
jelas artinya, adapun yang dimaksud dengan al-Kalimah dan ar-Ruh, maka
kedua kata tersebut perlu dijelaskan. Kaum Muslim memahami bahwa
al-Kalimah adalah petunjuk Allah SWT yang diberikan-Nya kepada Maryam
sedangkan ar-Ruh adalah menunjukkan atau mengisyaratkan kepada Ruh
Kudus, yaitu Jibril as. Allah SWT telah menguatkannya atau menguatkan
Nabi Isa dengan ruh yakni Jibril:
“Dan (ingatlah) ketiha Aku dukung kamu dengan Ruhul Kudus.” (QS. al-Maidah: 110)
Setelah
mengemukakan keyakinan kaum Masehi tentang karakter Nabi Isa dan akhir
dari kehidupannya dan setelah menjelaskan kebenaran yang Allah SWT
ceritakan kepada kita tentang karakter tersebut dan akhir dari kehidupan
yang dialami oleh Nabi Isa, kita ingin mengetahui apa yang harus
dilakukan oleh kaum Muslim dalam hubungan mereka dengan orang-orang
Masehi serta keyakinan mereka. Islam menetapkan atau menyampaikan
nas-nas yang jelas yang mengkhususkan agama Masehi—di antara agama-agama
yang lain—dengan kecintaan. Al-Qu’ran mengingkari ketuhanan al-Masih;
ia juga mengingkari penyaliban dan tebusan dosa yang dilakukannya. Namun
Al-Qur’an menegaskan dalam nasnya bahwa agama Nasrani merupakan agama
yang lebih dekat kecintaannya kepada Islam. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap
orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya
dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian itu disebabkan
karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat
pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak
menyombongkan diri.” (QS. al-Maidah: 82)
Allah SWT memuji para pengikut al-Masih yang berjalan di atas petunjuknya. Allah SWT berfirman:
“Dan
Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan
kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah (keadaan tidak
menikah dan mengurung diri di biara) padahal kami tidak mewajibkannya
kepada mereka tetapi mereka sendirilah yang mengada-adakannya untuk
mencarai keridhaan Allah.” (QS. al-Hadid: 27)
Tidak
terdapat kontradiksi dari dua sikap tersebut. Pengingkaran Al-Qur’an
terhadap ketuhanan al-Masih dan pengakuannya terhadap kecintaan kaum
Nasrani serta pujiannya terhadap orang-orang yang mengikuti Nabi Isa
mengandung makna lebih dari satu: Pertama, bahwa Masehi berdasarkan pada
agama Tauhid dan sangat sulit bagi para pengikutnya untuk meninggalkan
tauhid, dan hanya Allah SWT yang mengakui hakikat apa yang terpendam
dalam hati; kedua, dalam kalangan orang-orang Nasrani terdapat para
pendeta dan para rahib yang tidak bersikap congkak di hadapan Allah SWT
tetapi mereka sangat patuh dan tunduk kepadanya; ketiga, sebagian
pengikut Nabi Isa memiliki hati yang dipenuhi dengan kasih sayang dan
rahmat. Tentu rahmat dan kasih sayang tersebut tidak tumbuh kecuali dari
keimanan terhadap hari akhir. Allah SWT telah menetapkan perintah-Nya
kepada kaum Muslim agar mereka memperlakukan ahlul kitab dengan
perlakuan yang mulia dan baik, sebagaimana Islam menjamin kebebasan
untuk menentukan keyakinan pada setiap manusia. Allah SWT berfirman:
“Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus: 99)
“Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (QS. al-Baqarah: 256)
“Katakanlah:
‘Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidah kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun
dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada
mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan
diri (kepada Allah).’” (QS. Ali ‘Imran: 64)
Kita
perhatikan bahwa ayat-ayat tersebut berbicara tentang cara
memperlakukan kaum Masehi sebagai individu sebagaimana ia berbicara
tentang bagaimana kita memperlakukan keyakinan mereka. Sehubungan dengan
kaum Masehi sebagai individu, kita menyaksikan ayat-ayat tersebut
memerintahkan untuk membalas kecintaan yang mereka perlihatkan di mana
nas tersebut dengan tegas mengatakan bahwa mereka lebih dekat
kecintaannya kepada orang-orang yang beriman. Jika Allah SWT yang
menegaskan hal tersebut, maka orang-orang Muslim harus membalas kebaikan
dan kecintaan yang ditunjukkan oleh kaum Nasrani. Adapun sehubungan
dengan keyakinan mereka, di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang
melarang untuk memaksa manusia dalam bentuk apa pun. Allah SWT
berfirman:
“Dan
katakanlah: ‘Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang
ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir
biarlah ia kafir.” (QS. al-Kahfi: 29)
Yang
demikian itu, karena keimanan yang didahului dengan paksaan adalah
bukan keimanan karena ia berarti mencabut ikhtiar atau kebebasan
manusia, padahal itu adalah syarat dari keimanan. Dan barangkali inilah
yang menunjukkan kesempumaan Islam dilihat dari sikapnya yang demikian
indah. Kami kira tanpa kita harus memaksakan tafsiran kita kepada
ayat-ayat tersebut dan memohon kepada Allah SWT dari kesalahan dan
kebodohan bahwa Islam dengan sikapnya itu ingin menjauhkan para
pengikutnya dari kalangan awam dari perdebatan yang panjang dan
melelahkan seputar keyakinan orang lain. Tentu perdebatan tersebut tidak
akan berujung dan akan menjadi seperti debat kusir saja. Namun tugas
tersebut hanya diemban oleh para ulama, di mana mereka membahas
sebagaimana mereka kehendaki berbagai keyakinan-keyakinan keberagamaan,
sedangkan orang-orang awam tidak diberi tanggung jawab dalam hal itu.
Lagi pula, perselisihan antara keyakinan dan aliran-aliran di kalangan
Masehi dan kalangan Yahudi jika melibatkan orang-orang awam, maka itu
hanya memboroskan waktu dan hanya membuat lelah saja.
Islam
akan kembali menjadi asing dan akan kembali menjadi asing seperti
pertama kali terbit. Dalam suasana keasingan Islam yang pertama,
orang-orang Muslim berhasil membangun suatu individu Muslim yang kokoh.
Dan ketika bangunan tersebut telah selesai, maka sempurnalah pembangunan
pemerintahan Islam. Kita tidak mendengar bahwa salah seorang di antara
mereka terlibat dalam perdebatan yang sengit yang tidak berujung sekitar
keyakinan orang lain. Sesungguhnya memberi petunjuk kepada orang lain
sehingga orang tersebut engetahui jalan menuju Allah SWT adalah
perbuatan yang indah, tetapi hidayah tersebut didahului dengan tekad
seseorang untuk memberikan petunjuk kepada dirinya sendiri. Seandainya
orang-orang Islam membimbing mereka menuju jalan Allah SWT niscaya Allah
SWT memberi petunjuk melalui mereka siapa saja yang dikehendaki dari
hamba-hamba-Nya.
Al-Qur’an
menetapkan dua mukjizat kepada Nabi Isa yang tidak disebutkan dalam
kitab Injil: pertama mukjizat yang berupa pembicaraannya saat ia masih
menyusui dibuaian. Dan yang kedua mukjizat makanan yang turun dari
langit kepada kaum Hawariyin. Sebagaimana Al-Qur’an menetapkan kemuliaan
yang diperoleh oleh Nabi Isa saat ia diselamatkan dari tangan-tangan
jahat orang-orang Yahudi yang ingin menyiksanya atau membunuhnya
sehingga Nabi Isa terselamatkan dan dia diangkat ke langit. Rasulullah
saw mewasiatkan kepada sahabatnya agar mereka memperlakukan orang-orang
Masehi dengan penuh kebaikan, bahkan beliau menikahi Maria al-Qibthiya.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang lelaki dari Bani
Salim bin Auf yang bernama al-Hasin mempunyai dua orang anak yang masih
Kristen, lalu ia masuk Islam dan bertanya kepada Rasulullah saw
bagaimana seandainya ia harus memaksa kedua anaknya untuk memeluk Islam
sedangkan mereka berdua menolak agama lain selain agama Masehi? Kemudian
Allah SWT menurunkan ayat yang berbunyi:
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam).” (QS. al-Baqarah: 256)
Ketika
para utusan Najran dari kalangan kaum Masehi datang ke Madinah untuk
berunding dengan Nabi, maka beliau memberi mereka setengah dari
mesjidnya agar mereka dapat melaksanakan salat dengan cara mereka di
dalamnya. Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri untuk melakukan salat
kepada seseorang jenazah lalu dikatakan kepadanya bahwa ia adalah
jenazah Yahudi. Kemudian Rasulullah menjawab: “Bukankah ia adalah
manusia.” Dalam kesempatan lain Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa
yang mengganggu secara aniaya seorang Yahudi atau seorang Nasrani, maka
aku akan jadi musuhnya pada hari kiamat.” Terkadang kekuasaan akan
langgeng meskipun disertai dengan kekufuran tetapi ia tidak akan abadi
ketika disertai dengan kelaliman.
Para
ulama Islam berselisih pendapat berkaitan dengan keadaan Nabi Isa
setelah pengangkatannya. Mereka sepakat bahwa beliau tidak disalib
tetapi Allah SWT mengangkatnya di sisi-Nya. Tetapi ketika ia tidak
disalib, maka bagaimana keadaannya setelah itu: apakah ia masih hidup,
ataukah ia mati seperti matinya nabi yang lain? Mayoritas mengatakan
bahwa Allah SWT mengangkat Isa dengan fisiknya dan ruhnya di sisi-Nya.
Mereka mengambil zahir dari firman-Nya:
“Tetapi Allah mengangkatnya di sisi-Nya.” (QS. an-Nisa’: 158)
Juga
sebagian hadis yang mendukung hal tersebut. Sementara itu, kelompok
yang lain dari kalangan mufasirin, dan ini adalah kelompok yang
minoritas, mereka mengatakan bahwa Nabi Isa hidup sehingga Allah SWT
mematikannya sebagaimana Dia mematikan nabi-nabi-Nya lalu Dia mengangkat
ruhnya di sisi-Nya sebagaimana ruh para nabi diangkat, begitu juga ruh
para shidiqin (orang-orang yang benar) dan syuhada. Mereka mengambil
zahir firman-Nya:
“(Ingatlah)
ketika Allah berfirman: ‘Hai ha, sesungguhnya Aku akan menyampaikan
kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta
membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir.” (QS. Ali ‘Imran: 55)
Kami
sendiri lebih memilih pendapat yang pertama karena ia sangat
sesuai—sebagai mukjizat yang luar biasa—dengan kelahiran Isa di mana
kelahiran tersebut dipenuhi dengan mukjizat yang luar biasa, juga sesuai
dengan kehidupannya dan kesuciannya. Jadi, kedua-duanya merupakan
mukjizat yang luar biasa.
Demikian kisah Nabi Isa AS semoga bermanfaat.
Suumber: http://www.berryhs.com/2011/02/24-nabi-isa-as_06.html#
0 komentar:
Posting Komentar