Bertolak dari semangat “Allamungan Batu di Luyo“ yang mengikat Mandar dalam perserikatan “Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu” dalam sebuah muktamar yang melahirkan “Sipamandar”
(saling memperkuat) untuk bekerja sama dalam membangun Mandar, dari
semangat inilah maka sekitar tahun 1960 oleh tokoh Masyarakat Mandar
yang ada di Makassar yaitu antara lain : H. A. Depu, Abd. Rahman Tamma, Kapten Amir, H. A. Malik, Baharuddin Lopa, SH. dan Abd. Rauf
mencetuskan ide pendirian Provinsi Mandar bertempat di rumah Kapten
Amir, dan setelah Sulawesi Tenggara memisahkan diri dari Provinsi Induk
yang saat itu bernama Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara
(Sulselra).
Ide pembentukan Provinsi Mandar diubah menjadi rencana pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dan ini tercetus di rumah H. A. Depu
di Jl. Sawerigading No. 2 Makassar, kemudian sekitar tahun 1961
dideklarasikan di Bioskop Istana (Plaza) Jl. Sultan Hasanuddin Makassar
dan perjuangan tetap dilanjutkan sampai pada masa Orde Baru perjuangan
tetap berjalan namun selalu menemui jalan buntu yang akhirnya
perjuangan ini seakan dipeti-es-kan sampai pada masa Reformasi barulah
perjuangan ini kembali diupayakan oleh tokoh masyarakat Mandar sebagai
pelanjut perjuangan generasi lalu yang diantara pencetus awal hanya H. A. Malik yang masih hidup, namun juga telah wafat dalam perjalanan perjuangan dan pada tahun 2000 yang lalu dideklarasikan di Taman Makam Pahlawan Korban 40.000 jiwa di Galung Lombok
kemudian dilanjutkan dengan Kongres I Sulawesi Barat yang
pelaksanaannya diadakan di Majene dengan mendapat persetujuan dan
dukungan dari Bupati dan Ketua DPRD Kab. Mamuju, Kab. Majene dan Kab.
Polmas.
Tuntutan memisahkan diri dari Sulsel
sebagaiman diatas sudah dimulai masyarakat di wilayah Eks Afdeling
Mandar sejak sebelum Indonesia merdeka. Setelah era reformasi dan
disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 kemudian menggelorakan kembali
perjuangan masyarakat di tiga kabupaten, yakni Polewali Mamasa, Majene, dan Mamuju untuk menjadi provinsi.
Sejak tahun 2005, tiga kabupaten
(Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa) resmi terpisah dari Propinsi
Sulawesi Selatan menjadi Propinsi Sulawesi Barat, dengan ibukota
Propinsi di kota Mamuju. Selanjutnya, Kabupaten Polewali-Mamasa juga
dimekarkan menjadi dua kabupaten terpisah (Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamasa).
Untuk jangka waktu cukup lama, daerah ini
sempat menjadi salah satu daerah yang paling terisolir atau ‘yang
terlupakan’ di Sulawesi Selatan.
Ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain, yang terpenting:
- Jaraknya yang cukup jauh dari ibukota propinsi (Makassar);
- Kondisi geografisnya yang bergunung-gunung dengan prasarana jalan yang buruk;
- Mayoritas penduduknya (etnis Mandar,
dan beberapa kelompok sub-etnik kecil lainnya) yang lebih egaliter,
sehingga sering berbeda sikap dengan kelompok etnis mayoritas dan
dominan (Bugis dan Makassar) yang lebih hierarkis (atau bahkan feodal) –
pada awal tahun 1960an, sekelompok intelektual muda Mandar pimpinan
almarhum Baharuddin Lopa (Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, 1999-2000, dan sempat menjadi
‘aikon nasional’ gerakan anti korupsi karena kejujurannya yang sangat
terkenal) melayangkan ‘Risalah Demokrasi’ menyatakan ketidaksetujuan
mereka terhadap beberapa kebijakan politik Jakarta dan Makassar; serta
Fakta sejarah daerah ini sempat menjadi
pangkalan utama ‘tentara pembelot’ (Batalion 310 pimpinan Kolonel Andi
Selle), pada tahun 1950-60an, yang kecewa terhadap beberapa kebijakan
pemerintah dan kemudian melakukan perlawanan bersenjata terhadap
Tentara Nasional Indonesia (TNI); selain sebagai daerah lintas-gunung
dan hutan –untuk memperoleh pasokan senjata selundupan melalui Selat
Makassar- oleh gerilyawan Darul Islam (DI) pimpinan Kahar Muzakkar yang
berbasis utama di Kabupaten Luwu dan Kabupaten Enrekang di sebelah
timurnya.
Pembentukan daerah kabupaten baru di wilayah sulawesi barat masih
dalam proses dan dalam prosesnya masih sering diiringi oleh
permasalahan-permasalahan yang merupakan efek penyatuan pendapat yang
belum memiliki titik temu.
Sumber: http://datastudi.wordpress.com/2009/12/06/lita-mandar-sulawesi-barat/
NASKAH ALLAMUNGAN BATU DI LUYO
(Perjanjian Sipamandaq di Lujo)
1. Taqlemi manurunna peneneang
uppasambulobulo anaq appona di Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga,
nasaqbi Dewata diaya Dewata diong, Dewata di kanang, Dewata diolo,
Dewata diboeq, manjarimi pasemandarang.
2. Tannisapaq tannitonang, maq allonang
mesa mallatte samballa, siluang sambusambu sirondong langiqlangiq,
tassipande peoqdong tassipadundu pelango, tassipelei dipanraq
tassiluppei diapingang.
3. Sipatuppu diadaq sipalete dirapang, adaq tuho di Pitu Ulunna Salu, Adaq mate di muane adaqna Pitu Baqbana Binanga.
4. Saputangang di Pitu Ulunna Salu, Simbolong di Pitu Baqbana Binaga
5. Pitu Ulunna Salu memata di Sawa, Pitu Baqbana Binanga memata di Mangiwang
6. Sisaraqpai mata malotong anna mata mapute, anna sisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga.
7. Moaq diang tomangipi mangidang
mabattangang tommutommuane, namappasisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana
Binanga, sirumungngi anna musesseqi, passungi anaqna anna muanusangi
sau di uwai temmembaliq.
Terjemahan :
1. Telah terbukti kesaktian leluhur
mempersatukan anak cucunya di Pitu Ulunna Salu dan Piti Baqbana Binanga
yang disaksikan oleh Tuhan (Dewata) yang berarada di atas, ikatan erat),
saling menjaga untuk tidak memberi makanan yang mangandung tulang yang
dapat menyebabkan tertelan, saling menjaga untuk tidak memberi minuman
yang memabukkan atau beracun, saling menjaga untuk tidak meninggalkan
kesusahan serta saling tidak melupakan dalam hal kebaikan.
2. Saling menghormati Hukum dan peraturan
masing masing, Hukum hidup di Pitu Ulunna Salu, Hukum mati di suami
adatnya Pitu Baqbana Binanga.
3. Sapu Tangan (Destar/Ikat Kepala/Passpu) di Pitu Ulunna Salu, Sanggul di Pitu Baqbana Binanga
4. Ptu Ulunna Salu bertugas menjaga
serangan Ular Sanca (musuh dari darat) dan Pitu Baqbana Binanga menjaga
serangan Ikan Hiu (musuh dari laut).
5. Tak akan terpisah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga, laksana tak akan berpisahnya antara mata hitam dan mata putih.
6. Barang siapa yang mimpi mengidamkan
seorang anak laki laki yang bakal memisahkan Pitu Ulunna Salu dengan
Tuhan yang berada di bawah, Tuhan yang berda disamping kiri, Tuhan yang
berada disamping Kanan, Tuhan yang berada di depan, Tuhan yang berada di
belakang maka lahirlah persatuan seluruh Mandar.
7. Tiada penyekat dan tanpa pembatas,
bersatu laksana bantal bertikar selembar, membalut tubuh selangit langit
(Pitu Baqbana Binanga, maka bersatulah untuk segera membedah perut yang
hamil itu, lalu keluarkan janin bayi laki laki tersebut lalu hanyutkan
ke air yang tak mungkin kembali.
Sumber: http://www.polewalimandarkab.go.id/ (diakses: http://datastudi.wordpress.com/2009/01/11/perjanjian-sipamandaq/ Tanggal: 11 Januari 2009)
0 komentar:
Posting Komentar