Tradisi Budaya Mandar “Saeyyang Pattuqdu”

Secara harafiah “saeyyang pattuqdu” berarti kuda yang menari-nari yaitu mengangkat dua kaki depan silih berganti sambil kepala kuda naik turun. Umumnya, kuda yang menari-nari tersebut ditunggangi anak yang baru khatam Al Quran. Bersama kuda dan anak khatam lainnya, menjadi sebuah karnaval yang diadakan setiap musim memperingati maulid Nabi Muhammad SAW di Mandar.
Secara harafiah “saeyyang pattuqdu” berarti kuda yang menari-nari yaitu mengangkat dua kaki depan silih berganti sambil kepala kuda naik turun. Umumnya, kuda yang menari-nari tersebut ditunggangi anak yang baru khatam Al Quran. Bersama kuda dan anak khatam lainnya, menjadi sebuah karnaval yang diadakan setiap musim memperingati maulid Nabi Muhammad SAW di Mandar.
Tradisi sayyang pattuqdu di Mandar tidak diketahui persis kapan mulai dilakukan. Diperkirakan tradisi itu dimulai ketika Islam menjadi agama resmi beberapa kerajaan di Mandar, kira-kira abad XVI. Sayyang pattuqdu awalnya hanya berkembang di kalangan istana, yang dilaksanakan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kuda digunakan sebagai sarana sebab dulunya di Mandar, kuda adalah alat transportasi utama dan setiap pemuda dianjurkan untuk piawai berkuda.

Dalam perkembangannya, sayyang pattuqdu menjadi alat motivasi bagi anak kecil agar segera menamatkan Al Quran. Ketika seorang anak kecil mulai belajar Al Quran, oleh orang tuanya dijanji akan diarak keliling kampung dengan sayyang pattuqdu jika khatam Al Quran. Karena ingin segera naik kuda penari, maka sang anak ingin segera pintar mengaji dan khatam Al Quran “besar”.

Musim sayyang pattuqdu dimulai setelah 12 Rabiul Awal. Beberapa kampung di Mandar, secara bergantian melaksanakan arakan sayyang pattuqdu dalam jumlah banyak. Hampir tiap pekan ada saja arak-arakan kuda yang di atasnya duduk dengan anggun wanita dan anak yang baru khatam Al Quran, diiringi tabuhan rebana nan rancak, dan irama kalindaqda (syair yang dilagukan) yang sering kali disambut sorakan penonton karena isi kalindadaq-nya jenaka.

Kalindaqdaq adalah salah satu puisi tradisional Mandar. Dibandingkan dengan karya sastra lama Mandar lainnya, kalindaqdaq yang paling banyak digunakan/dipakai oleh masyarakat Mandar mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka pada masa dahulu.

Contoh kalindaqdaq yang biasa dideklamasikan di depan saeyyang pattuqdu antara lain: “Usanga bittoeng raqdaq/Di pondoqna I Bolong/I kandiq pala/Mambure pecawanna” (Kusangka bintang yang jatuh/Di atas punggung (kuda) Si Hitam/Dinda kiranya/Yang menaburkan senyumnya); “Tennaq rapaangdaq uwai/Lamba lolong lomeang/Mettonang bandaq/Di naunna endeqmu” (Seandainya aku bagaikan air/yang mengalir kian kemari/Aku tergenang sudah/Di bawah naungan tanggamu); “Passambayang moqo daiq/Pallima wattu moqo/Iyamo tuqu/Pewongang di aheraq” (Bersembahyanglah engkau/Berlima waktulah/Itulah dia/Bekal di akhirat).

ETIKA DI ATAS KUDA
Duduk di atas kuda yang menari-nari, sekilas terlihat mudah. Apalagi bila berpikir, pawang yang mengawal sang kuda akan membantu mengendalikan hewan itu. Tapi nyatanya, tak semudah itu. Tapi, bagi yang ingin naik sayyang pattuqdu, atau menjadi tomissawe, tidak perlu khawatir, sebab naik sayyang pattuqdu yang berarak keliling kampung ada yang menjaga.

Selain pawang kuda, juga ada passarung, yaitu empat laki-laki dewasa yang berada di kiri-kanan kuda. Umumnya mereka kerabat perempuan yang duduk di atas kuda.

Duduk di atas kuda tidaklah sembarangan. Ada cara tersendiri, tidak seperti cara duduknya joki dalam kuda pacuan. Kecuali yang menunggang di atas kuda yang menari tersebut adalah lelaki.

Bila yang duduk adalah wanita, maka kaki kanan dan kiri tidak menjulur ke bawah melewati sisi atau perut kuda. Kaki kanan ditekuk hingga lutut sejajar dada. Di atas lutut kanan tersebut disandarkan tangan kanan yang memegang kipas.

Adapun kaki kiri, melintang di depan dengan telapak kaki kiri persis menumpu bagian dalam kaki kanan. Persis cara duduk kaum wanita Mandar. Adapun tangan kiri memegang rambut kuda.

Yang paling penting, sebab itulah yang dilihat penonton, adalah mimik wajah kala duduk di atas kuda. Wajah haruslah tenang, sedikit senyum elegan. Jangan tampak panik atau tertawa terbahak-bahak. Wanita yang dianggap cantik kala “missawe” adalah wanita yang duduknya elegan dengan wajah tenang. Walau kudanya menari-nari, kadang sampai agresif, tapi wajah harus tenang tersenyum. Sebab itulah cerminan wanita Mandar.

Sedang gadis atau anak yang baru khatam yang duduk di belakang, kedua kaki ditekuk seakan jongkok. Telapak kaki dimasukkan ke dalam sarung yang sengaja dipasang sebagai sandaran kaki. Adapun kedua tangannya memegang kudung yang terpasang di “padawara”. Sedikit menutupi wajah. Wajahnya juga tak boleh terlihat panik.

Bila anak lelaki yang menunggang, wajahnya juga harus tampak tenang. Tidak tersenyum, tidak juga tampak ketakutan. Kadang ada anak yang tertawa-tawa malah sampai menari-nari di atas seperti mengayung-ayungkan pedang.

Agar kelihatan cantik dan bercahaya duduk di atas kuda, ada ilmunya. Caranya, ketika akan naik kuda, sang wanita yang duduk di depan, terlebih dahulu berdiri dengan tenang di teras rumah. Kemudian perlahan-lahan turun tangga dan langsung naik di tas kuda.

Jangan langsung duduk, harus berdiri dulu di atas kuda. Setelah berdiri dengan tenang, wajah dihadapkan ke arah datangnya sinar matahari. Pandangi sekejap dan “seraplah” cahaya matahari. Selesai, duduklah dengan tenang. Itulah ilmunya; itulah “ussulan” dalam kebudayaan Mandar.

Pakaian

Berdasar foto saeyyang pattuqdu yang diambil pada tahun 30an, ternyata wanita atau gadis penunggang kuda tidak mengenakan baju. Hanya perhiasan yang menutupi dadanya. Tapi tidak ada keterangan, apakah anak itu tamat mengaji atau hanya menjadikan kuda sebagai kendaraan.

Dalam sejarahnya, kostum atau pakaian wanita yang duduk di atas kuda tidaklah seperti sekarang ini. Bila memang foto tua tahun 30-an tersebut dianggap sebagai kostum saeyyang pattuqdu kala itu, maka tahun-tahun kemudian, ada perubahan. Menurut cerita-cerita orang tua, dulu wanita di depan mengenakan pakaian yang terbuat dari kertas ‘minyak’ berwarna merah. Pakaian tersebut hanya satu kali pakai dan tembus pandang.

Sebab kertas tidak efektif dan karena tembus pandang (transparan), belakangan mengalami perubahan. Mengenakan kain yang juga berwarna merah. Yaitu pakaian adata “pasangang mamea” (baju berwarna merah). Desa yang beberapa penduduknya masih mempertahankan tradisi mengenakan pakaian dari kertas berwarna merah adalah Desa Napo, Kecamatan Limboro, Polewali Mandar.

Adapun sarungnya baik dulu dan sekarang, mengenakan sutera corak (sureq) ‘salaka’ yang berwarna hitam dengan kotak-kotak berwarna perak (perak = salaka).

Untuk perhiasan, di kepala mengenakan “simbolong tiwaliq” yang berhiaskan melati, anting berupa “dali”, di leher hanya seuntai kalung dengan “ringgiq bulawang” (ringgit emas), dan di lengan beberapa gelang “buwur”.

Itulah kostum ideal wanita yang duduk di depan: pakaian berwarna merah, sarung sutra hitam, dan perhiasan beberapa saja. Walau hanya beberapa, tapi tampak elegan sebab warnanya merah. Dan juga tidak merepotkan wanita yang duduk di atas. Beda dengan kostum-kostum sekarang ini. Yang dikenakan adalah kostum wanita menikah (pesta) atau kostum penari. Warnanya juga berwarna macam.

Perhiasan berupa “gallang balleq” (gelang kaleng) dan kalung beruntai-untai serta perhiasan di kepala, juga sangat merepotkan wanita. Kadang di tengah jalan, perhiasan tersebut jatuh.

Sedang gadis yang duduk di belakang, mengenakan “padawara”, yang jamak digunakan wanita-wanita Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang baru datang menunaikan ibadah haji. Sama halnya anak lelaki, juga mengenakan pakaian lelaki khas Arab. Itulah sebab, anak yang baru khatam Al Quran dianggap “haji kecil”.

Mengajar Kuda Agar Bisa Menari

Ada dua gerakan utama dalam tarian kuda di Mandar, yaitu gerakan kepala yang mendongak-dongak, dan gerakan dua kaki depan yang dihentakkan secara bergantian ke tanah. Kuda yang belum mahir, umumnya menggerakkan kakinya bersamaan. Kepalanya pun belum tampak anggun. Sedangkan kuda yang sudah terlatih, hentakan antara kaki kanan dengan kaki kiri dilakukan bergantian. Saat gerakan dilakukan, ada saat-saat tertentu kaki yang berada di atas di udara dihentikan.

Pelajaran pertama yang diterima si kuda adalah gerakan leher/kepala, hentakan kaki dan pengaturan posisi antara dirinya (kuda) dengan pawang atau yang mengontrol kuda. Untuk mengatur gerakan leher, caranya cukup sederhana, tapi rumit dalam prakteknya. Caranya, tali dililitkan ke atas kepala kuda yang melintasi mulutnya.

Tali tersebut digenggam sang pelatih dan ketika proses latihan berlangsung, tali ditarik-tarik dengan tekanan tertentu. Sang pelatih memperhatikan gerakan kuda. Bila terlalu keras, tali dikendorkan. Lalu dilakukan penyesuaian tekanan tali yang tepat dengan gerakan kuda, dengan cara mengatur simpul di tali.

Saat pelajaran pertama, selain tali, alat lain yang digunakan adalah cemeti atau cambuk. Cambuk ini sesekali melecut ke kuda pundak atau perut kuda ketika badan kuda terlalu dekat ke pelatih.

Ini terus dilakukan sampai kuda menjadi “sadar posisi”. Cambuk juga dilecutkan ke lutut kuda, agar gerakannya stabil. Proses latihan sempat berhenti ketika hujan turun. Kesempatan itu digunakan untuk beristirahat. Kuda kelihatan ngos-ngosan, dari mulutnya keluar buih.

Setelah hujan reda, latihan hari pertama dilanjutkan. Berbeda dengan sesi pertama, di sesi kedua ini sang pelatih sudah menggunakan kayu keras sebagai pengganti cambuk. Saatnya semakin mengontrol gerakan kaki, agar kaki tidak bersamaan lagi naik-turunnya. Sesekali terdengar bunyi kayu yang menghantam tulang lutut kuda.

Kuda itu sama seperti manusia. Ada yang gampang dilatih, ada yang tidak. Melatih pun tidak sembarangan, ada ilmunya tersendiri, baik yang berkaitan mistik maupun keterampilan teknik semata.

Unsur mistik terlihat ketika sang pelatih akan memasang tali ke kepala-mulut kuda. Terlihat dia melakukan belaian sampai tiga kali, mulai dari mulut kuda sampai pangkal ekornya. Dan ketika kuda selesai dilatih atau sudah lulus, ada acara “wisuda-nya”, yaitu melakukan sesajen di rumah.

Keterampilan juga bukan hal sepele. Sebab bila tak lihai, bisa-bisa kaki kanan si pelatih remuk dihantam telapak kaki kuda. Ya, remuk sebab jarak antara kaki pelatih dengan kaki depan kuda hanya beberapa sentimeter, padahal gerakan kaki kuda tak pernah berhenti.

Tradisi sayyang pattuqdu di Mandar tidak diketahui persis kapan mulai dilakukan. Diperkirakan tradisi itu dimulai ketika Islam menjadi agama resmi beberapa kerajaan di Mandar, kira-kira abad XVI. Sayyang pattuqdu awalnya hanya berkembang di kalangan istana, yang dilaksanakan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kuda digunakan sebagai sarana sebab dulunya di Mandar, kuda adalah alat transportasi utama dan setiap pemuda dianjurkan untuk piawai berkuda.

Dalam perkembangannya, sayyang pattuqdu menjadi alat motivasi bagi anak kecil agar segera menamatkan Al Quran. Ketika seorang anak kecil mulai belajar Al Quran, oleh orang tuanya dijanji akan diarak keliling kampung dengan sayyang pattuqdu jika khatam Al Quran. Karena ingin segera naik kuda penari, maka sang anak ingin segera pintar mengaji dan khatam Al Quran “besar”.

Musim sayyang pattuqdu dimulai setelah 12 Rabiul Awal. Beberapa kampung di Mandar, secara bergantian melaksanakan arakan sayyang pattuqdu dalam jumlah banyak. Hampir tiap pekan ada saja arak-arakan kuda yang di atasnya duduk dengan anggun wanita dan anak yang baru khatam Al Quran, diiringi tabuhan rebana nan rancak, dan irama kalindaqda (syair yang dilagukan) yang sering kali disambut sorakan penonton karena isi kalindadaq-nya jenaka.

Kalindaqdaq adalah salah satu puisi tradisional Mandar. Dibandingkan dengan karya sastra lama Mandar lainnya, kalindaqdaq yang paling banyak digunakan/dipakai oleh masyarakat Mandar mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka pada masa dahulu.

Contoh kalindaqdaq yang biasa dideklamasikan di depan saeyyang pattuqdu antara lain: “Usanga bittoeng raqdaq/Di pondoqna I Bolong/I kandiq pala/Mambure pecawanna” (Kusangka bintang yang jatuh/Di atas punggung (kuda) Si Hitam/Dinda kiranya/Yang menaburkan senyumnya); “Tennaq rapaangdaq uwai/Lamba lolong lomeang/Mettonang bandaq/Di naunna endeqmu” (Seandainya aku bagaikan air/yang mengalir kian kemari/Aku tergenang sudah/Di bawah naungan tanggamu); “Passambayang moqo daiq/Pallima wattu moqo/Iyamo tuqu/Pewongang di aheraq” (Bersembahyanglah engkau/Berlima waktulah/Itulah dia/Bekal di akhirat).

Etika di Atas Kuda

Duduk di atas kuda yang menari-nari, sekilas terlihat mudah. Apalagi bila berpikir, pawang yang mengawal sang kuda akan membantu mengendalikan hewan itu. Tapi nyatanya, tak semudah itu. Tapi, bagi yang ingin naik sayyang pattuqdu, atau menjadi tomissawe, tidak perlu khawatir, sebab naik sayyang pattuqdu yang berarak keliling kampung ada yang menjaga.

Selain pawang kuda, juga ada passarung, yaitu empat laki-laki dewasa yang berada di kiri-kanan kuda. Umumnya mereka kerabat perempuan yang duduk di atas kuda.

Duduk di atas kuda tidaklah sembarangan. Ada cara tersendiri, tidak seperti cara duduknya joki dalam kuda pacuan. Kecuali yang menunggang di atas kuda yang menari tersebut adalah lelaki.

Bila yang duduk adalah wanita, maka kaki kanan dan kiri tidak menjulur ke bawah melewati sisi atau perut kuda. Kaki kanan ditekuk hingga lutut sejajar dada. Di atas lutut kanan tersebut disandarkan tangan kanan yang memegang kipas.

Adapun kaki kiri, melintang di depan dengan telapak kaki kiri persis menumpu bagian dalam kaki kanan. Persis cara duduk kaum wanita Mandar. Adapun tangan kiri memegang rambut kuda.

Yang paling penting, sebab itulah yang dilihat penonton, adalah mimik wajah kala duduk di atas kuda. Wajah haruslah tenang, sedikit senyum elegan. Jangan tampak panik atau tertawa terbahak-bahak. Wanita yang dianggap cantik kala “missawe” adalah wanita yang duduknya elegan dengan wajah tenang. Walau kudanya menari-nari, kadang sampai agresif, tapi wajah harus tenang tersenyum. Sebab itulah cerminan wanita Mandar.

Sedang gadis atau anak yang baru khatam yang duduk di belakang, kedua kaki ditekuk seakan jongkok. Telapak kaki dimasukkan ke dalam sarung yang sengaja dipasang sebagai sandaran kaki. Adapun kedua tangannya memegang kudung yang terpasang di “padawara”. Sedikit menutupi wajah. Wajahnya juga tak boleh terlihat panik.

Bila anak lelaki yang menunggang, wajahnya juga harus tampak tenang. Tidak tersenyum, tidak juga tampak ketakutan. Kadang ada anak yang tertawa-tawa malah sampai menari-nari di atas seperti mengayung-ayungkan pedang.

Agar kelihatan cantik dan bercahaya duduk di atas kuda, ada ilmunya. Caranya, ketika akan naik kuda, sang wanita yang duduk di depan, terlebih dahulu berdiri dengan tenang di teras rumah. Kemudian perlahan-lahan turun tangga dan langsung naik di tas kuda.

Jangan langsung duduk, harus berdiri dulu di atas kuda. Setelah berdiri dengan tenang, wajah dihadapkan ke arah datangnya sinar matahari. Pandangi sekejap dan “seraplah” cahaya matahari. Selesai, duduklah dengan tenang. Itulah ilmunya; itulah “ussulan” dalam kebudayaan Mandar.

PAKAIAN
 
Berdasar foto saeyyang pattuqdu yang diambil pada tahun 30an, ternyata wanita atau gadis penunggang kuda tidak mengenakan baju. Hanya perhiasan yang menutupi dadanya. Tapi tidak ada keterangan, apakah anak itu tamat mengaji atau hanya menjadikan kuda sebagai kendaraan.

Dalam sejarahnya, kostum atau pakaian wanita yang duduk di atas kuda tidaklah seperti sekarang ini. Bila memang foto tua tahun 30-an tersebut dianggap sebagai kostum saeyyang pattuqdu kala itu, maka tahun-tahun kemudian, ada perubahan. Menurut cerita-cerita orang tua, dulu wanita di depan mengenakan pakaian yang terbuat dari kertas ‘minyak’ berwarna merah. Pakaian tersebut hanya satu kali pakai dan tembus pandang.

Sebab kertas tidak efektif dan karena tembus pandang (transparan), belakangan mengalami perubahan. Mengenakan kain yang juga berwarna merah. Yaitu pakaian adata “pasangang mamea” (baju berwarna merah). Desa yang beberapa penduduknya masih mempertahankan tradisi mengenakan pakaian dari kertas berwarna merah adalah Desa Napo, Kecamatan Limboro, Polewali Mandar.

Adapun sarungnya baik dulu dan sekarang, mengenakan sutera corak (sureq) ‘salaka’ yang berwarna hitam dengan kotak-kotak berwarna perak (perak = salaka).

Untuk perhiasan, di kepala mengenakan “simbolong tiwaliq” yang berhiaskan melati, anting berupa “dali”, di leher hanya seuntai kalung dengan “ringgiq bulawang” (ringgit emas), dan di lengan beberapa gelang “buwur”.

Itulah kostum ideal wanita yang duduk di depan: pakaian berwarna merah, sarung sutra hitam, dan perhiasan beberapa saja. Walau hanya beberapa, tapi tampak elegan sebab warnanya merah. Dan juga tidak merepotkan wanita yang duduk di atas. Beda dengan kostum-kostum sekarang ini. Yang dikenakan adalah kostum wanita menikah (pesta) atau kostum penari. Warnanya juga berwarna macam.

Perhiasan berupa “gallang balleq” (gelang kaleng) dan kalung beruntai-untai serta perhiasan di kepala, juga sangat merepotkan wanita. Kadang di tengah jalan, perhiasan tersebut jatuh.

Sedang gadis yang duduk di belakang, mengenakan “padawara”, yang jamak digunakan wanita-wanita Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang baru datang menunaikan ibadah haji. Sama halnya anak lelaki, juga mengenakan pakaian lelaki khas Arab. Itulah sebab, anak yang baru khatam Al Quran dianggap “haji kecil”.

Mengajar Kuda Agar Bisa Menari
Ada dua gerakan utama dalam tarian kuda di Mandar, yaitu gerakan kepala yang mendongak-dongak, dan gerakan dua kaki depan yang dihentakkan secara bergantian ke tanah. Kuda yang belum mahir, umumnya menggerakkan kakinya bersamaan. Kepalanya pun belum tampak anggun. Sedangkan kuda yang sudah terlatih, hentakan antara kaki kanan dengan kaki kiri dilakukan bergantian. Saat gerakan dilakukan, ada saat-saat tertentu kaki yang berada di atas di udara dihentikan.

Pelajaran pertama yang diterima si kuda adalah gerakan leher/kepala, hentakan kaki dan pengaturan posisi antara dirinya (kuda) dengan pawang atau yang mengontrol kuda. Untuk mengatur gerakan leher, caranya cukup sederhana, tapi rumit dalam prakteknya. Caranya, tali dililitkan ke atas kepala kuda yang melintasi mulutnya.
Tali tersebut digenggam sang pelatih dan ketika proses latihan berlangsung, tali ditarik-tarik dengan tekanan tertentu. Sang pelatih memperhatikan gerakan kuda. Bila terlalu keras, tali dikendorkan. Lalu dilakukan penyesuaian tekanan tali yang tepat dengan gerakan kuda, dengan cara mengatur simpul di tali.

Saat pelajaran pertama, selain tali, alat lain yang digunakan adalah cemeti atau cambuk. Cambuk ini sesekali melecut ke kuda pundak atau perut kuda ketika badan kuda terlalu dekat ke pelatih.
Ini terus dilakukan sampai kuda menjadi “sadar posisi”. Cambuk juga dilecutkan ke lutut kuda, agar gerakannya stabil. Proses latihan sempat berhenti ketika hujan turun. Kesempatan itu digunakan untuk beristirahat. Kuda kelihatan ngos-ngosan, dari mulutnya keluar buih.

Setelah hujan reda, latihan hari pertama dilanjutkan. Berbeda dengan sesi pertama, di sesi kedua ini sang pelatih sudah menggunakan kayu keras sebagai pengganti cambuk. Saatnya semakin mengontrol gerakan kaki, agar kaki tidak bersamaan lagi naik-turunnya. Sesekali terdengar bunyi kayu yang menghantam tulang lutut kuda.

Kuda itu sama seperti manusia. Ada yang gampang dilatih, ada yang tidak. Melatih pun tidak sembarangan, ada ilmunya tersendiri, baik yang berkaitan mistik maupun keterampilan teknik semata.

Unsur mistik terlihat ketika sang pelatih akan memasang tali ke kepala-mulut kuda. Terlihat dia melakukan belaian sampai tiga kali, mulai dari mulut kuda sampai pangkal ekornya. Dan ketika kuda selesai dilatih atau sudah lulus, ada acara “wisuda-nya”, yaitu melakukan sesajen di rumah.

Keterampilan juga bukan hal sepele. Sebab bila tak lihai, bisa-bisa kaki kanan si pelatih remuk dihantam telapak kaki kuda. Ya, remuk sebab jarak antara kaki pelatih dengan kaki depan kuda hanya beberapa sentimeter, padahal gerakan kaki kuda tak pernah berhenti.

Sumber: http://ridwanmandar.com/2012/03/23/saeyyang-pattuqdu/

Blog, Updated at: 22:10

0 komentar: